Wednesday, August 1, 2012

Genta dan Intan


Namaku Genta. Aku bekerja sebagai perawat di sebuah Puskesmas yang terletak di sebuah desa di kaki gunung salah satu kota pegunungan di Jawa Barat. Aku sendiri berasal dari sebuah kota perbatasan jawa-sunda di Jawa Tengah; namun, aku sudah merantau ke kota pegunungan di Jawa Barat ini sejak lulus SMP;  untuk meneruskan pendidikan di salah satu SPK di kota tersebut, hingga aku lulus dan akhirnya bekerja sebagai PNS di Puskesmas tempatku bekerja saat ini.  Sebagai seorang laki-laki, aku sangat beruntung.  Meskipun profesiku hanyalah seorang perawat, namun wajahku tergolong ganteng, berkulit putih.  Banyak yang bilang bahwa aku mirip dengan Primus Yustisio.  Perawakanku tinggi tegap, berbadan kekar. Tinggi badanku hampir mencapai 175 cm.  Aku pun diberi kelebihan memiliki suara merdu. Di SPK tempatku menggali ilmu keperawatan, aku menjadi vokalis band sekolah, yang diidolakan para siswi di sekolahku.

Selepas lulus SPK, aku menikahi kakak kelasku, Saras namanya, yang termasuk salah satu fans beratku di sekolah.  Kami telah berumah tangga sekitar 3 tahun ini, dianugerahi sepasang anak, laki-laki dan perempuan. Saras sendiri bekerja di Puskesmas lain di wilayah  kabupaten yang sama dengan tempatku bekerja saat ini, namun dengan lokasi yang berjauhan dari Puskesmas tempatku bekerja.Saat perkawinanku dengan Saras menginjak tahun ke-2, konflik rumah tangga mulai meretakkan hubungan kami. Semua ini dipicu karena kecemburuan dan rasa posesif Saras kepadaku yang berlebihan.Saras bukan termasuk wanita idola di SPK. Aku menikahinya karena faktor kedekatan kedua orang tua kami.  Awalnya, kedua orang tua kami sering bertemu pada beberapa event acara sekolah.  Karena kebetulan mereka sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan merasa anak-anak mereka sama-sama perantau, akhirnya mereka pun bersahabat, bahkan mereka sering saling mengunjungi satu sama lain. Jadi aku menikahi Saras lebih karena kesamaan kultur dan kedekatan hubungan orang tua.Saras bukanlah sosok perempuan yang berparas cantik.  Wajahnya biasa-biasa saja, bahkan cenderung di bawah rata-rata. Saras bukanlah satu-satunya pacarku di SPK.  Memanfaatkan keberuntunganku yang diidolakan para wanita, aku memacari hampir seluruh siswi SPK yang menganggumiku saat itu, mulai dari adik kelas hingga kakak kelasku.  Saat itu, aku adalah playboy di sekolahku.Barangkali, satu-satunya kelebihan yang dimiliki Saras adalah buah dadanya yang berukuran di atas rata-rata.  Tentu saja, melihat ukuran buah dada super seperti itu membuat nafsu primitifku menggebu untuk ‘menetek’. Aku memanfa’atkan ketertarikan Saras kepadaku untuk melampiaskan nafsu birahiku. Di saat itu, yang penting nafsu birahiku terlampiaskan dengan gratis dari seorang perempuan bertetek besar yang dengan ikhlas menyerahkan jiwa raganya kepadaku.  Aku tidak peduli apakah Saras mencapai kenikmatan birahi yang sama denganku, atau semata-mata tanpa pamrih hanya ingin melayani nafsu bejat ‘idolanya’. Semua aku lakukan atas dasar nafsu, tanpa cinta.Selepas lulus SPK, aku tidak tega untuk menolak ajakannya menikah.  Sebejat-bejatnya niatku saat itu, aku merasa telah menodainya.  Meskipun Saras tidak pernah hamil dariku di luar pernikahan, karena aku selalu menggunakan kondom saat bersenggama dengan pacar-pacarku, namun aku merasa bahwa tubuhnya telah banyak ternoda oleh lendir birahiku.  Dan aku pun merasa sungkan untuk menampik ajakannya menikah, karena kedua orang tua kami telah saling mengenal.  Aku tidak mau hubungan silaturahmi antar keluarga kami menjadi retak akibat penolakanku.Kesenjangan inilah yang akhirnya baru disadari oleh Saras dan membuatnya menjadi pencemburu yang berlebihan.  Aku, sebagai suaminya, termasuk tipe pria dambaan para wanita, sedangkan Saras hanyalah wanita yang baru akan dilihat oleh para pria tatkala mereka sedang horny ataupun mabuk berat, akibat ukuran buah dadanya yang terlalu mengundang.Kecemburuan yang berlebihan seperti ini sangatlah membuatku tidak nyaman.   Bagaimana tidak.   Setiap kali aku pulang terlambat, Saras selalu curiga dan menginterogasiku habis-habisan atau bahkan mencoba mencari informasi ke teman-teman sekantorku, menginvestigasiku seolah-olah aku telah berselingkuh dengan wanita lain.  Padahal saat itu aku pulang terlambat untuk mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di tempat-tempat praktek poliklinik 24 jam sebagai asisten para dokter jaga.   
***Di saat rumah tanggaku mulai retak, di Puskesmas tempatku bekerja kedatangan bidan baru, yang dimutasi dari salah satu Puskesmas di Jawa Tengah karena mengikuti suaminya yang bekerja sebagai peneliti di kota pegunungan tempatku bekerja saat ini.  Intan namanya.  Dan dia pun ternyata berasal dari kota asalku di Jawa Tengah.Intan  berparas cantik. Hidungnya relatif mancung, berbibir sensual, bermata lebar dengan bulu mata lentik, dan berkulit sawo matang seperti rata-rata perempuan Jawa Tengah.  Wajahnya berada di antara Ayu Azhari dan Paramitha Rusadi. Tinggi badannya setinggi Saras. Meskipun saat itu aku hanya bisa memperhatikannya dari balik baju seragam kantornya, tapi jelas terlihat bahwa ukuran buah dadanya jauh lebih kecil dibandingkan ukuran buah dada Saras yang super. Namun tubuhnya sintal.  Pantat dan pinggulnya pun padat berisi. Dan cara berjalannya yang lenggak-lenggok dengan goyangan pantatnya yang seolah-olah sedang bergoyang asmara, serta cara bertuturnya yang halus lembut mendesah, sungguh sangat menggoda birahi para pria. Dalam hati aku menaruh rasa iri dengan pria yang telah menikahinya.***Meski bukan suaminya, aku pun akhirnya menjadi pria lain yang beruntung, karena Intan ditugaskan oleh Dokter Kepala Puskesmas tempat kami bekerja sebagai partner dalam tugas-tugas lapangan terkait kegiatan Posyandu bersamaku.  Dan, faktor kesamaan asal daerah pun sangat mempercepat keeratan hubungan kami berdua.
Di saat-saat awal Intan bertugas, bahasa sundanya masih belum fasih benar.  Akulah yang membantunya, mendampinginya menjadi interpreter setiap kali Intan berhadapan dengan pasien yang hanya bisa berbahasa sunda.Setiap kali kami harus bertugas ke lapangan, Intan membonceng motorku.  Kecantikan Intan dan kegantenganku, membuat kami sebagai pasangan kerja sangat cepat dikenal bahkan diidolakan masyarakat desa di wilayah kerja kami.  Bahkan mereka berseloroh bahwa kami sangat pantas menjadi pasangan kekasih.  Saat itu, kami hanya menanggapi seloroh seperti itu dengan tawa.Sebagai laki-laki normal dengan gairah birahi yang masih menyala, sejujurnya, setiap kali Intan membonceng motorku, darahku berdesir.Apalagi motorku adalah motor lapangan.  Motor tril yang jok-nya menungging.  Membuat Intan, yang meskipun memakai rok dengan ukuran sebatas lutut, mau tidak mau harus memboncengku dengan mengangkangkan kakinya, dan tubuhnya pun terpaksa harus merapat ke tubuhku.
Dari kaca spion motor, terkadang kulihat pahanya yang mulus tersingkap.  Apalagi di saat kondisi jalan yang tidak rata, dengan topografi yang naik-turun.  Seringkali aku harus mengerem motor dengan mendadak, menjadikan dada Intan menggencet punggungku.  Atau di saat menuruni jalanan makadam yang menurun cukup terjal, Intan terpaksa harus mempererat pegangan tangannya ke pinggangku.Aku heran, karena setiap kali kejadian yang sebenarnya membangunkan nafsu birahiku itu, tak ada satu pun komplain yang kudengar keluar dari mulut Intan.  Bahkan, kadang-kadang Intan malah meresponnya dengan mencubit pahaku dan berkata menggoda:“Sengaja lewat jalan seperti ini, ya Pak? Dasar nakal!  Kurang kerasa tuh... Lagi dong yang lebih berasa!”Aku hanya membalasnya dengan tertawa.  Padahal, degup jantungku di momen-momen seperti itu berdetak tak karuan.  Libidoku bangkit.  Ingin rasanya kulampiaskan nafsu birahiku dengan menggumuli Intan saat itu juga.  Namun aku sadar akan akibatnya.  Jika nafsuku ternyata bertepuk sebelah tangan, pastilah karirku akan hancur. Sehingga, aku hanya bisa berdo’a dalam hati, agar Intan merasakan hal yang sama di momen-momen ‘nakal tak disengaja’ akibat kondisi alam seperti itu.  Aku  pun selalu berusaha untuk menutupi gejolak ‘asmaraku’ dan nafsu birahiku kepada Intan.
Lebih jauh, untuk menutupi agar gelora asmaraku kepada Intan yang mulai membara tidak diketahui, baik oleh Intan maupun Saras, istriku yang pencemburu berat itu, saat Saras datang ke Puskesmas untuk menemuiku, Intan kuperkenalkan kepada Saras.  Karena Saras juga berasal dari salah satu kota di Jawa Tengah dengan kultur yang hampir sama dengan kultur kota kami berdua, Intan dan Saras pun akhirnya malah akrab bersahabat.  Bahkan, akhirnya mereka malah sering saling menelpon satu sama lain untuk sekedar ngobrol dengan topik tentang kedinasan atau sekedar basa-basi, ngobrol ngalor-ngidul dan bahkan bergosip.  Sering kudengar mereka di telpon malah menggosipkan tentang diriku yang menurut mereka polos dan lugu, sambil cekikikan mentertawakan diriku.
Dalam hati, aku berharap bahwa sebenarnya Intan pun memendam perasaan yang sama kepadaku, dan kini dia sedang melancarkan tak-tik dan strategi agar Saras tidak mencurigai dan mencemburuinya.***Setelah hampir setengah tahun aku berkenalan dengan Intan dan menjadi partner kerjanya di lapangan, dan di saat semakin parahnya keretakan hubungan rumah tanggaku dengan Saras akibat sifat cemburu dan posesifnya yang semakin lama semakin tak terkendali, akhirnya aku memberanikan diri untuk curhat mengenai keadaan rumah tanggaku itu kepada Intan.  Untungnya, dengan kecerdikan Intan yang telah membungkus hubungannya dengan Saras menjadi hubungan persahabatan dan bahkan telah berhasil digiringnya ke arah hubungan persaudaraan sebagai pasangan kakak-adik,  Saras tidak pernah menjadikan Intan menjadi salah satu korban rasa cemburunya.  Di sisi lain, yang menjadi korban rasa cemburu Saras selama ini adalah para wanita yang kebetulan beretnis sunda, baik yang berada di lingkungan kerjaku maupun di lingkungan rumahku.  Barangkali, Saras masih berpikiran sempit, dengan serta-merta memberikan stigma yang buruk kepada para wanita sunda, menganggapnya bahwa mereka jauh lebih mudah diajak berselingkuh dibandingkan para wanita jawa.  Jika dugaanku benar, maka semakin selamatlah Intan dari ancaman amukan Saras.Aku semakin mengagumi Intan, karena dia tipe pendengar yang sangat baik, yang mau mendengarkan segala keluh-kesahku.  Di saat aku sedang curhat, sama sekali dia tidak pernah memotong ataupun mengacuhkan keluh-kesahku.  Dia hanya diam mendengarkanku penuh perhatian. Setelah aku selesai menceritakan segala keluh-kesahku, Intan baru akan meresponnya dengan pernyataan keprihatinan yang mendalam dan mendo’akanku agar segera diberi solusi yang terbaik oleh-Nya, tanpa pernah satu kali pun memberikan judgement atau bahkan nasihat.
Akhirnya, sudah menjadi kebiasaan kami setelah pulang bertugas dari lapangan, kami tidak langsung kembali ke Puskesmas; namun mencari tempat di sekitar hutan pinus di kaki pegunungan wilayah kerja kami, hanya untuk saling curhat sambil beristirahat melepas lelah.Intan pun akhirnya mulai memberanikan diri membicarakan suaminya, Satria namanya, yang meskipun bekerja sebagai peneliti yang seharusnya ‘intelektual’, namun ternyata memiliki kebiasaan buruk, mabuk setiap malam dan selalu berperilaku kasar kepadanya.  Intan menceritakan juga kepadaku bahwa perkawinannya dengan suaminya serupa dengan perkawinanku dengan Saras, yaitu karena faktor kedekatan hubungan kultural antar orang tua.  Bahkan Intan lebih parah, karena ibunya adalah mantan anak buah dari sebuah kantor yang pernah dipimpin oleh bapak mertuanya.  Intan akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Satria karena Satrialah pria yang pertama kali berani untuk meminangnya.  Padahal, saat itu Intan tengah menjalin hubungan asmara dengan anak induk semangnya di desa tempat dia bertugas saat itu, Ruri namanya.  Ruri memiliki perawakan yang mirip dengan perawakanku, tinggi tegap, dan berkulit putih.  Menurut Intan, wajah Ruri mirip dengan Ari Wibowo.  Sayangnya, sebagai orang kampung, Ruri minder untuk datang menghadap orang tua Intan, menyatakan lamarannya.  Intan bercerita bahwa sebenarnya dia sangat mencintai Ruri.

   Bahkan Intan akhirnya berani menceritakan kepadaku tanpa rasa malu, bahwa di malam pertamanya, Intan berpura-pura kesakitan luar biasa saat Satria akan melakukan penetrasi, karena Intan sebenarnya takut ketahuan akibat telah menyerahkan keperawanannya kepada Ruri. Selain itu, Intan pun sebenarnya tidak menginginkan jika ‘cinta’nya diserahkan kepada laki-laki lain selain Ruri.  Betapa tidak?  Sangat jauh berbeda antara Satria, suami Intan, dibandingkan Ruri.  Satria berperawakan pendek.  Tinggi badannya hanya mencapai 165 cm.  Warna kulit  Satria pun hitam legam.  Dengan perawakan yang kurus.  Sangat jauh dengan Ruri.  Apalagi dari ukuran penis.  Intan bercerita dengan polos, betapa ukuran penis suaminya sangat kecil, dan sulit sekali untuk mampu ereksi berdiri tegak. Sedangkan penis Ruri yang berperawakan hampir sama denganku, menurut Intan sangat jauh di atas rata-rata, hingga genggaman tangan Intan pun tidak mampu menjangkau seluruh keliling batang penisnya.

Lebih jauh lagi, di saat suaminya akhirnya diberinya ijin untuk melakukan penetrasi, Intan selalu membayangkan Ruri.  Namun, tentu saja sangat jauh berbeda, karena sensasi yang diberikan oleh ukuran penis suaminya yang kecil itu tak mampu menggantikan sensasi ukuran penis Ruri yang menurutnya besar.  Ditambah lagi, suaminya tak akan mampu bertahan lama, terlalu cepat berejakulasi sebelum Intan mencapai puncak.Di saat itulah aku mulai menyadari, bahwa mungkin kami sengaja dipertemukan dalam hidup ini, karena selama ini kami adalah pria dan wanita yang kurang beruntung yang telah menikahi  pasangan yang jauh dari harapan kami.***Di suatu hari, selepas aku dan Intan menjalankan tugas Posyandu di sebuah desa terpencil yang menjadi kewenangan Puskesmas kami, di tengah perjalanan dengan motor trilku, dari belakang Intan meremas pelan pundakku dan berkata setengah berbisik di dekat telingaku, “Bisakah kita berhenti sebentar untuk ngobrol, Pak?”Aku mengangguk, dan berusaha mencari tempat yang tepat. Akhirnya, kutemukan tempat yang sepi, sebuah lansekap berhutan bambu.  Motor kubelokkan dari jalan aspal ke jalan setapak menuju hutan bambu yang rimbun.  Senyap suasana di wilayah itu.  Hanya kicauan burung-burung kecil dan bunyi serangga hutan yang terdengar.  Terasa sangat damai.“Apa yang ingin kamu ceritakan kepadaku, In?”, tanyaku.Intan hanya diam terpaku. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca dan akhirnya berlinang air mata.Kudekati Intan.
“Ada apa In? Ceritakan apa yang membuatmu menangis?”Intan semakin tak kuasa menahan perasaannya.  Tangis Intan semakin meledak. Tersedu-sedu.  Aku tak tega melihatnya seperti itu.  Kudekati dia.  Kupeluk Intan dengan lembut.  Intan pun merebahkan kepalanya ke dadaku.  Kuelus-elus kepalanya, sambil terus berbisik kepadanya:
 “Ceritakan kepadaku, apa masalahmu?  Sebagai sahabatmu, aku akan mendengarkan”.
  Basah kuyup baju seragamku oleh gelinang air matanya.  Kukecup berkali-kali keningnya untuk menenangkannya. Setelah agak tenang, kami duduk di hamparan tanah yang penuh dedaunan bambu kering. Intan pun mulai bercerita.“Semalam, aku bertengkar dengan Satria, suamiku.  Satria memutuskan untuk pergi meninggalkanku beberapa tahun, meneruskan studinya di salah satu negeri di Eropa.  Dia mendapatkan beasiswa dari pemerintah asing.”, Intan mengawali pembicaraan.“Lho, kenapa? Apa salahnya?  Bukankah itu tujuan yang mulia?  Demi masa depan kalian?  Aku juga menginginkannya jika aku memiliki kesempatan seperti Satria”, kataku.“Sebagai isteri yang masih bergairah, aku masih membutuhkan kehadirannya, untuk memenuhi hasrat seksualku.  Meskipun, Satria nyatanya tidak pernah bisa memuaskanku dengan kondisi fisiknya yang loyo.  Selama ini, terus-terang gejolak birahiku hanya terpuaskan oleh permainan vibrator suamiku, bukan murni karena hubungan fisik sewajarnya.  Usiaku kini masih 29 tahun, masih bergejolak dan membutuhkan pelampiasan nafsu birahi yang intensif.  Semalam, aku berusaha membujuk suamiku untuk tidak meninggalkanku hanya demi gelar. Aku katakan kepada Satria, yang kubutuhkan sekarang bukanlah masa depan, namun kepuasan batin!  Tapi, dia tetap bersikukuh untuk melanjutkan studinya. Bahkan dengan kasar Satria menamparku, sambil mengatakan bahwa jika kebutuhan batin yang kubutuhkan, maka dia menyuruhku untuk memenuhinya dari laki-laki lain selama dia meninggalkanku”, jawab Intan.Aku iba mendengar penjelasan Intan.  Sungguh malangnya Intan.  Kebahagiannya benar-benar dijajah oleh perkawinannya. Namun, di satu sisi, aku merasa mendapatkan kesempatan emas, karena hasratku untuk bisa memiliki jiwa dan raganya telah berada di depan mata.  Hanya tinggal waktu dan sedikit tak-tik yang cerdik. Lalu aku berkata:“In, sebagai sahabat, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”“Pak Genta, bolehkah aku, mulai saat ini kamu terima menjadi kekasih gelapmu?  Aku adalah istri yang tersakiti dan nyaris tak pernah mendapatkan kebahagiaan cinta yang sesungguhnya dari suamiku. Sekali lagi, selama ini, aku hanya bisa orgasme saat suamiku menyalakan vibrator yang dibelinya dari Amerika.  Penisnya sama sekali tidak pernah memuaskanku.  Ukurannya terlalu kecil untuk bisa memuaskanku.  Dan untuk ereksi pun susah. Aku pun akhirnya tahu bahwa kamu juga seorang suami yang disakiti oleh istrimu yang pencemburu itu.  Sejujurnya, kamu termasuk tipe laki-laki yang aku dambakan.  Kriteria kejantananmu tak kusangkal lagi.  Kamu adalah tipe pria yang didambakan oleh banyak wanita. Sejujurnya, akhir-akhir ini,  aku selalu membayangkanmu di saat bercinta dengan suamiku yang bermodal vibrator itu.  Aku berharap, kamu tidak menolak ajakanku untuk saling membahagiakan ini, Pak Genta”, Intan menjawab dengan lugas dengan tatapan matanya yang tajam seolah-olah ingin menikam jantungku yang makin berdegup keras karena kaget mendapatkan tawaran yang memang telah kuinginkan selama ini.Masih  terkesiap, aku tak mampu berkata apa-apa.  Bercampur-aduk perasaanku saat itu.  Betapa tidak.  Sudah lama aku menginginkan untuk memiliki wanita ini.  Selama ini, aku bahkan mencoba menutupi gejolak perasaanku di hadapan Intan. Dan baru saja, Intan justru yang memintaku untuk memilikinya.  Terima kasih, Ya Tuhan.
Sebenarnya, aku ingin langsung mencumbu Intan di saat itu juga.  Telah lama aku mengharapkan untuk bisa melampiaskan gairah cinta bersamanya.  Namun, aku ingin menjadikan momen seperti ini lebih berharga.  Aku dekap Intan erat-erat.  Aku usap rambutnya.  Kukecup keningnya dan perlahan-lahan penuh perasaan aku lumat bibirnya dengan lembut, sambil membisikkan,“In, sejujurnya aku telah jatuh cinta kepadamu sejak awal kita bertemu... Mulai saat ini, aku adalah kekasih gelapmu, Sayang.  Aku akan melindungi dan membahagiakanmu selama kita bersama...  Kamulah wanita dambaanku selama ini...”Lama aku memeluk Intan. Kami pun berciuman layaknya remaja puber yang baru merasakan nikmatnya berpacaran.  Bibir kami saling berpagutan.  Lidah kami saling bertautan bertukar air liur asmara.  Sejujurnya, penisku saat itu sudah menegang.  Dan aku yakin, vagina Intan pun mungkin telah basah kuyup.  Namun, aku sadar bahwa kesempatanku untuk bercinta dengan Intan telah terbuka, sehingga aku bisa melakukannya di saat dan tempat yang lebih tepat.Akhirnya, aku sudahi kencan pertama yang membangkitkan gairah birahi itu karena kita berdua harus bergegas kembali ke kantor untuk melaporkan tugas lapangan.  Aku berjanji kepada Intan bahwa aku akan selalu hadir membawa cintaku kepadanya, di saat dan tempat yang tepat.  Intan pun mengangguk lemah dan mengakhiri pertemuan itu dengan mengecup bibirku.***Di hari-hari berikutnya, selepas jam kantor, aku dan Intan sering berkencan.  Paling sering, kami berkencan di mall kota, sambil makan siang.  Suatu saat, selesai makan siang, seusai berbincang mesra di restoran sebuah mall, kami tak mampu menahan nafsu birahi kami lagi. Betapa tidak, Intan bercerita setengah berbisik kepadaku bahwa semalam dia orgasme dari vibrator yang dinyalakan suaminya dengan membayangkanku.  Bahkan di saat orgasme, Intan membisikkan namaku perlahan.  Serupa denganku.  Semalam pun, aku bercinta dengan isteriku, dalam keadaan mata terpejam, karena aku membayangkan bahwa yang tengah kugauli saat itu adalah Intan. Bahkan di saat ejakulasi, dengan perlahan kubisikkan nama Intan dari celah bibirku. Jelas saja kami berdua tak tahan dengan godaan imajinasi yang kami ciptakan sendiri semalam.  Penisku sudah semakin membesar, mendesak celana yang masih ketat membungkusnya, segera ingin memberontak keluar untuk menemui kekasih hatinya.  Aku perhatikan, Intan pun telah terangsang oleh khayalannya semalam.  Duduknya gelisah.  Pantatnya selalu digeser tak tentu arah.  Kedua kakinya bergerak-gerak membuka dan menutup, sambil pandangan matanya kadang-kadang melirik ke bawah, seolah-olah khawatir jika cairan yang mungkin telah membasahi memeknya terlalu deras mengalir dan menetes ke lantai.  Rona wajahnya semakin memerah.  Terkadang pula matanya mencuri pandang ke arah selangkanganku, seolah-olah tidak sabar untuk menggenggam senjataku yang telah dirindukannya. Kami semakin tak sabar, ingin segera mengubah khayalan kami semalam menjadi kenyataan.  Saat itu juga.Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajak Intan menonton film di bioskop dalam mall tersebut.  Aku tidak peduli judul maupun isi filmnya.  Yang aku butuhkan adalah tempat yang ‘aman’ untuk mencumbu Intan.
Kami berdua pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan sama sekali.  Begitu ruang bioskop mulai gelap, kami saling berciuman penuh nafsu.  Lidah kami saling berpagutan dan menghisap.  Nafas kami memburu.  Tak beraturan dan penuh desahan.  Seolah-olah telah bertahun-tahun kami tidak pernah mereguk kenikmatan birahi.  Sementara tangan Intan tidak sabar meraih celanaku, membuka sabuk dan retsleting celanaku, mengeluarkan penisku yang telah tegang dan meremasnya dengan gemas.Genggaman tangan Intan yang kecil ternyata tak mampu menggenggam penuh batang penisku yang telah tegak berdiri.“Oh Sayang... Ukuran penismu jauh lebih panjang dan besar daripada kontol suamiku ataupun Ruri mantan kekasihku... Dan kamu benar-benar lelaki sejati Genta Sayang... Kontolmu benar-benar telah tegak berdiri seperti batang bambu...  Sungguh aku sangat beruntung karena saat ini aku bisa menggenggamnya...  Kontolmu sangat hangat dan perkasa penuh otot Genta Sayangku...”Mata Intan tak mau lepas menatap kagum penisku yang telah berada dalam genggaman tangannya. Dielusnya, diremasnya, dan dikocoknya.  Sesekali dijulurkannya lidahnya ke dalam mulutku. Nafas kami semakin memburu.Aku tak sabar menghadapi godaan nafsu birahi Intan yang menggelora. Aku membuka kancing baju seragam kantor Intan, dan meremas buah dadanya yang masih terbungkus BH berwarna hitam dengan penuh nafsu.  Kuturunkan kedua tali BH Intan, sehingga melorot dan menyembulkan kedua buah payudaranya. Meskipun ukuran buah dada Intan jauh lebih kecil dibandingkan milik istriku, namun kencang, padat berisi dan bentuknya sungguh sangat seksi, mengacung tegak ke depan.  Menantang!  Berbeda dengan tetek Saras yang meskipun besar, tapi justru merosot ke bawah tak kuat menahan beban. Dengan penuh nafsu kujilati dan kuhisap puting susu Intan yang berwarna merah kecoklatan, kanan-kiri bergantian.  Intan merintih keenakan.  Semakin menegang, mengeras dan mengacung kedua puting susunya.
“Ssshhh... Ah...  Genta Sayangku... Oh... Enak Sayang... Oh... Teruskan Sayang... Ah...”Nafasnya semakin tersengal.  Kususupkan tangan kananku ke dalam rok Intan.  Kuraba celana dalamnya.  Kutemukan celana dalamnya  telah basah, tepat di belahan memeknya.  Intan tak sabar. Dilepasnya celana dalamnya, disingkapkannya roknya dan diangkatnya kedua kakinya ke atas kursi, menekuk kedua lututnya dan mengangkangkan kedua pahanya untuk memberikan jalan yang lebih leluasa kepadaku.“Lakukan Genta Sayang... Lakukan sekukamu untuk memuaskan nafsu birahiku...”, pintanya.Jemariku pun dengan leluasa mengelus-elus kelentit dan belahan memek Intan dengan lembut.“Oh... Genta Sayang... Elusan jemarimu enak Sayang... Tanganmu kokoh dan perkasa... Oh...”Intan terus mengocok kontolku dengan irama yang semakin cepat.  Aku pun merasakan kenikmatan luar biasa dari kocokan tangan mungilnya.Agar spermaku tidak muncrat ke mana-mana, aku tahan tangan Intan.  Kuhentikan sejenak.  Kupasang kondom yang sengaja kubawa untuk membungkus penisku.
Cerita film yang tertayang di depan kami sama sekali tak kami pedulikan.  Aku dan Intan semakin terhanyut dalam permainan birahi. 
Karena penonton bioskop cukup sepi, aku akhirnya memberanikan diri untuk berlutut di depan kaki Intan yang mengangkang. Aku menjilati memek dan kelentitnya, sementara jari tengah dan telunjuk tangan kananku dengan nakal kumasukkan ke dalam liang vaginanya yang telah basah penuh lendir. Kuraba seluruh dinding vaginanya dengan penuh perasaan. Kucoba menemukan G-spot di dalamnya.  Setelah kutemukan dinding yang permukaannya agak kasar di dalam vaginanya, kukorek-korek dinding tersebut dengan memberikan sedikit tekanan.  Pinggul Intan bergoyang semakin liar menyambut kocokan jemariku tepat di area G-spot-nya.  Intan mengerang mendesah:“Oh...  Yah... Di situ Sayang...  Enak Sayang...  Terus Sayang... Ah... Kamu memang cerdas Sayang...  Kamu telah menemukan G-spotku...  Bahkan Satria dan Ruri pun belum pernah menemukannya...  Genta Sayangku... Telah lama aku mendambakan saat seperti ini bersamamu... Oh...  Sayangku... Ah...Ah... Ouh... Ouh... Genta...”Semakin kupercepat kocokan jemariku di dalam liang memek Intan mengikuti semakin liarnya goyangan pinggulnya, sementara tangan kiriku mengocok kontolku sendiri.  Akhirnya Intan mencapai orgasme.“Oooh... Genta Sayang.... Genta Sayangku...  Cukup... Cukup... Cukup Sayang... Ah... Ah... Aku sudah sampai... Ouh... Ouh... Oooh... Uoooh... Oh...”, Intan mendesah dan memekik pelan dengan nafas tersengal-sengal.  Dadanya naik-turun tak beraturan.  Wajahnya memerah.Kurasakan denyutan memeknya. Sungguh sangat keras dan terasa meremas-remas jemariku.  Cukup lama dinding vagina Intan berdenyut-denyut. Betapa menunjukkan bahwa telah lama Intan tidak pernah merasakan kenikmatan birahi yang sesungguhnya dari Satria, suaminya.  Aku semakin bergairah melihat betapa sensualnya wajah Intan yang penuh peluh dan memerah, memancarkan ekspresi kepuasan birahi yang tiada tara.
Intan serta merta sedikit membungkukkan badannya, menggapai kontolku yang semakin tegang dan terbungkus kondom dengan tangan kanannya.  Intan membalas kenikmatan yang baru saja diperolehnya dengan mengocok penisku.  Sementara lidahku masih keasyikan menjilati memek Intan yang telah lemas dan memerah, dan sesekali dengan liar menjilat puting ataupun mengadu lidahku dengan lidah Intan.
Akhirnya, Intan memintaku untuk berganti posisi.  Aku duduk di kursi bioskop, sementara Intan berlutut di depanku.  Dikocoknya batang penisku dengan kedua tangannya dan lidahnya sesekali menjilati dan menyedot kantung zakarku.  Tanganku pun dengan bebas meremas-remas kedua buah payudaranya yang mengacung tegak.Akhirnya, aku tak bertahan lama.  Kuraih wajah Intan. Kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Tangan kananku mencoba meraih liang memeknya yang masih licin menyisakan lendir kenikmatan. Intan menangkap isyaratku. Semakin dipercepat dan diperkeras kocokan tangannya. Wajahnya sengaja menengadah menatapku.  Sangat seksi dan menggairahkan. Lidahnya yang dijulurkan menjilati kepala penisku benar-benar memacu gairahku untuk segera mencapai puncak. Akhirnya aku tak tahan, memuncratkan spermaku di dalam kantung kondom.
“Intan...  Oh...  Intan Sayang... Oh... Aku... Keluar... Sayang... Aaah... Aaah...”Kami kembali berpelukan dan berciuman dengan nafas yang masih belum teratur.  Tersengal-sengal, penuh peluh dan lendir asmara.Kondom aku lepaskan, aku ikat ujungnya agar isinya tidak bertebaran kemana-mana, dan kubuang ke kolong tempat duduk bioskop.  Lalu kami membenahi pakaian kami yang lusuh berantakan dan kembali duduk berdampingan.“Sayang, aku tidak tahu apakah yang baru saja aku rasakan tadi adalah manisnya gula ataukah asinnya garam, karena gelap...”, kataku sambil tersenyum dan mencium keningnya.Intan mencubitku dengan gemas, meraih kepalaku, mencium dan melumat bibirku.“Semoga hubungan asmara gelap kita ini abadi, Sayang...”, bisik Intan di telingaku.Kami kembali berpelukan dan bibir kami saling berpagutan hingga film pun berakhir.  Kami keluar dari dalam gedung bioskop dengan kepuasan jiwa.  Belum pernah kami rasakan kenikmatan asmara seperti tadi sebelumnya.  Tak ada rasa penyesalan sedikit pun bahwa kami baru saja mengkhianati pasangan kami masing-masing.  Keluar dari mall menuju jalan raya, kami terus bergandengan tangan dengan erat.  Seolah-olah tak mau berpisah.  Tak peduli jika ada orang yang memergoki perselingkuhan kami.Setelah kukecup keningnya, aku mengantarkan Intan menuju halte angkot yang membawa ke rumahnya. Saat itu, Intan masih menempati rumahnya sendiri. Rumah yang dibangunkan oleh suaminya untuknya, yang kebetulan berlokasi di kota lain yang berbatasan dengan kota tempat kami bekerja.  Tak puas-puasnya aku memandangnya, hingga angkot yang membawanya pergi tak terlihat lagi.  
***Suatu hari, di saat suami Intan telah berada di luar negeri untuk melanjutkan studi, aku yang di hari itu tidak berangkat bekerja mendapatkan pesan dari Intan lewat email.  Untung saja, aku menyempatkan diri untuk main ke warnet dekat rumahku, setelah Saras, istriku berangkat bekerja:“Say, mengapa tidak masuk kantor hari ini?  Kamu pasti cek-cok lagi dengan Saras ya? Bisa tidak kamu datang ke rumahku sore ini?  Lampu dapur rumahku mati.  Tidak ada yang bisa menjangkau fitting yang terlalu tinggi itu, selain kamu. Di rumah hanya ada anak-anakku, pembantuku, dan ibu mertua-ku. Aku khawatir, jika gelap, kamu tidak bisa membedakan antara manisnya gula dan asinnya garam seperti kejadian dua minggu yang lalu di bioskop. Aku nantikan dirimu di dalam kamar belakang setelah kamu berhasil masuk dan meyakinkan ibu mertua-ku, bahwa kamu hanyalah rekan kerjaku yang suka menolong.  PKM (Peluk, Kasih Mesraku).... Dari kekasih gelapmu... Intan”Semangatku yang tadinya surut pada hari itu, karena betul dugaan Intan bahwa semalaman aku bertengkar lagi dengan Saras, tiba-tiba menjadi berkobar kembali, disengat api asmara Intan yang membara. Sejak kejadian di bioskop, sudah hampir dua minggu ini aku dan Intan belum pernah bermesraan lagi, karena Intan sedang datang bulan. Dan selama ini, aku dan Intan hanya melampiaskan nafsu birahi kami melalui petting. Semakin liar imajinasiku, membayangkan penisku yang akan benar-benar memasuki liang memek Intan yang nikmat itu.
Dari cerita Intan, suaminya selama ini jarang memasukkan penisnya, karena baru beberapa detik biasanya sudah ejakulasi. Sehingga suami Intan berusaha memuaskan Intan menggunakan vibrator dan kocokan jemari tangannya.  Tak heran jika memek Intan masih relatif sempit untuk ukuran seorang ibu yang telah beranak dua.Aku bergegas mandi, menggosok gigiku agar terlihat putih bersih dan bahkan keramas. Tak ada satu bagian tubuhku yang terlewati, agar aku berpenampilan prima di hadapan kekasihku.  Bahkan penisku pun kugosok dengan sabun berkali-kali, agar bersih dan wangi.  Aku sengaja mengenakan setelan celana dan kemeja kasual yang memperlihatkan kemacoanku.  Kancing baju atas sengaja kubiarkan terbuka memamerkan betapa bidangnya dadaku. Tak lupa aku menyemprotkan parfum favoritku “Spalding” hampir ke seluruh badanku.  Bahkan kusemprotkan di sekitar penisku.  Intan sangat menyukai bau parfumku ini.  Bahkan Intan bercerita jika dia sengaja membeli parfum favoritku.  Di saat merasa kesepian, Intan bermasturbasi. Untuk membantunya menghadirkan bayanganku, Intan menyemprotkan parfum favoritku ke sekitarnya dan menghirup aromanya dalam-dalam.Aku sengaja tidak berpamitan ke Saras karena dia masih merajuk akibat cek-cok semalam.  Masalah basi yang tak pernah mendapatkan solusi selama ini. Saras menginterogasiku habis-habisan karena kecurigaannya yang berlebihan.  Meskipun, nyatanya kini aku telah berani menyelingkuhinya, namun semalam aku benar-benar pulang terlambat karena bertugas di sebuah poliklinik 24 jam.Aku hanya berpamitan kepada kedua anakku tercinta.  Mengatakan kepada mereka bahwa aku akan bertugas piket di salah satu poliklinik 24 jam.  Kali ini aku membohongi keluargaku.   Namun, apa bedanya antara berbohong dengan jujur, jika berkata jujur saja toh masih terus dicurigai?
Mengendarai motor trilku, aku menuju rumah kontrakan Intan yang terletak sekitar 20 km dari rumahku.Semenjak ditinggal suaminya ke luar negeri, Intan sengaja mengontrak rumah di kota pegunungan tempat kami bekerja, meninggalkan rumah yang telah dibangun suaminya di kota lain yang berbatasan. Alasan Intan kepada suaminya, karena kemacetan jalan yang menghubungkan kedua kota ini semakin parah; dan kini tidak ada lagi teman berangkat bekerja.  Aku mengetahui bahwa semua itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Intan, karena sebenarnya Intan hanya ingin mendekatiku.Rumah kontrakan Intan terletak di ujung perkampungan, jauh dari jalan aspal utama dan jalan desa.  Rumah kontrakannya cukup terisolasi, berbatasan dengan kebun singkong yang rimbun dan perkebunan karet.  Jarak rumah tetangga terdekatnya pun relatif jauh, sekitar 300 meteran.  Rumah kontrakan ini memiliki pintu depan yang langsung menuju ruang tamu dan pintu belakang yang langsung menuju kamar tidur paling belakang.  Di bagian depan, bersebelahan dengan ruang tamu ada dua kamar tidur lagi, yang terdepan biasanya digunakan oleh ibu mertua dan kedua anak laki-laki Intan yang masih kecil, sedangkan yang satunya lagi digunakan oleh pembantu rumah tangganya. Kamar belakang yang ukurannya paling luas digunakan oleh Intan, bersebelahan langsung dengan dapur.  Letak dapur sendiri bersebelahan dengan dua kamar mandi.  Antara bagian belakang dengan bagian depan, dipisahkan oleh dua pintu. Aku mengetahui persis tata ruang rumah kontrakan Intan, karena aku turut menemai Intan mencari rumah kontrakan ini dan aku pun membantunya saat berpindah rumah.Sesampai di rumah Intan, aku memarkirkan motorku di halaman depan rumahnya yang cukup luas, tepat di bawah pohon rambutan.
Saat itu waktu telah menjelang maghrib.“Assalamu’alaikum”, sapaku.“Walaikumsalam...  Eh... Pak Genta... Silahkan masuk Pak... In...  Intan... Ini lho, Pak Genta sudah datang”, Ibu Mertua Intan - yang memang telah mengenalku karena aku sering mengantarkan Intan pulang naik motor selepas kerja – menyambutku dengan ramah.  Karena aku menempatkan diri sebagai rekan kerja dari istri anaknya, dan selalu menjaga sikap sopan-santun, Ibu Mertua Intan tak menaruh rasa curiga sama sekali. Di hadapannya, aku hanyalah seorang rekan kerja Intan yang baik hati dan suka menolong. Kedua anak laki-laki Intan pun telah akrab denganku.  Bahkan si bungsu yang masih berusia dua tahun, selalu memanggilku: “Papa Genta”.  Di usia seperti ini, anak-anak tersebut memang masih membutuhkan kehadiran seorang bapak.  Ibu Mertua Intan sama sekali tidak mencurigai bagaimana cucu-cucunya menyambut dan memperlakukanku, karena sekali lagi, aku menempatkan diri sebagai sesosok pria yang sopan dan santun.Segera setelah Ibu Mertua Intan memangggil Intan, Intan dan kedua anaknya pun keluar.  Ekspresi wajah Intan berpura-pura biasa saja, bahkan menampilkan ekspresi yang cenderung dingin, malas-malasan dan ‘sok acuh’ kepadaku.   Dalam hati, aku memaklumi sikapnya.  Semua ini pasti dilakukan Intan agar ibu mertua beserta pembantunya tidak menaruh rasa curiga kepadaku.  Namun, aku masih bisa menangkap sinar mata Intan yang berbinar kegirangan karena kedatanganku.  Kuraih si bungsu yang langsung lekat dalam gendonganku.  Setelah berbasa-basi, aku akhirnya minta ijin menuju dapur untuk memasangkan lampu.Adzan maghrib pun tiba. Untuk semakin membangun kepercayaan kepada Ibu Mertua Intan, aku pun ijin untuk menumpang sholat.  Seusai sholat, Ibu Mertua Intan bahkan menawariku untuk makan malam bersama.  Perbincangan dengan topik tak tentu arah selama acara makan malam membuat waktu tak terasa berjalan hingga jam menunjukkan pukul 20.30.  Kulihat anak-anak Intan telah terlelap di kamar paling depan.  Begitu juga pembantu rumah tangganya telah memasuki kamarnya sejak tadi.  Ibu Mertua Intan telah menguap berkali-kali.  Intan pun berpura-pura menguap.
Aku menangkap isyaratnya.  Aku segera berpamitan untuk pulang.  Aku diantar oleh Intan dan Ibu Mertuanya hingga ke halaman rumah.  Akhirnya aku memacu motor trilku, meninggalkan rumah kontrakan Intan.  Sesampai di mulut jalan kampung, di persimpangan yang menghubungkan jalan kampung dengan jalan aspal utama, aku mampir di sebuah warung Indomie.  Memesan kopi dan menghabiskan beberapa batang rokok.Aku sengaja menunggu waktu di situ. Setelah arlojiku menunjukkan waktu hampir sekitar pukul 21.30, aku membayar pemilik warung Indomie itu sembari berkata:“Pak, punteun, saya sekalian menitip parkir motor saya di sini, karena saya akan mampir dulu ke rumah teman saya yang terletak di gang sebelah yang sempit itu.  Susah memarkirkan motor di sana, Pak.  Saya tambahkan Rp 10 ribu untuk parkir ya Pak. Hatur nuhun.”  Bapak pemilik warung Indomie itu pun mengangguk dan tersenyum senang karena mendapat tambahan uang.Lalu aku berjalan kaki,  menyusuri kembali jalan menuju rumah kontrakan Intan.  Sesampai di halaman rumahnya, suasana rumah telah senyap. Hanya terdengar dengkuran keras  Ibu Mertua Intan.  Aku berjalan mengendap-endap melewati kebun singkong yang rimbun, mendekati pintu belakang.  Aku berbisik pelan di celah pintu: “In... Aku kembali Sayang...”.Segera setelah itu, pintu dibuka perlahan oleh Intan.  Dia tersenyum.  Mengedipkan sebelah matanya. Rupanya, Intan telah mempersiapkan diri.  Dia telah berganti pakaian, mengenakan gaun malam seksi terusan berwarna biru beludru. Rambutnya sengaja diikat, memperlihatkan tengkuknya yang kuning langsat.  Penampilannya itu semakin terlihat nakal menggoda. Tercium aroma parfum favoritnya “Tommy Boy” yang sungguh menggugah birahi.  Perlahan aku masuk ke dalam kamarnya sembari mengedipkan sebelah mata dan mencoba mendaratkan kecupanku di tengkuknya.  Pintu segera ditutup kembali perlahan dan kemudian dikunci.  Demi keamanan, selain pintu yang menghubungkan kamar belakang dengan dapur, Intan juga telah mengunci dua buah pintu yang menghubungkan ruang depan dengan ruang belakang.  Dan kami berdua pun kini benar-benar berada dalam ruang isolasi yang ‘aman’ dan ‘bebas gangguan’.Aku dan Intan tak tahan lagi menahan kerinduan.Kami saling berpelukan erat dan saling meraba dengan liar, sementara lidah kami saling menjulur berpagutan, saling menghisap penuh birahi.  Kusingkapkan gaun malam yang dikenakan Intan dengan tak sabar.  Kulepaskan gaun malam tersebut dari tubuhnya yang sintal dan telah terasa panas membara akibat gelora gairah birahinya yang telah ditahannya selama dua minggu ini. Kulemparkan gaun malamnya ke lantai kamar. Malam itu, Intan mengenakan celana dalam dan BH berwarna merah maron. Kupelorotkan celana dalamnya, dan kuturunkan tali BH-nya.  Intan pun dengan nafas memburu mencoba melepaskan kancing kemeja, celana panjang, berikut celana dalamku. Penisku yang telah tersugesti oleh imajinasiku sendiri karena membayangkan momen menggairahkan ini sejak kedatanganku tadi sore dengan mudah telah ereksi, tegak mengacung dengan gagahnya, pertanda siap untuk bertempur.
Rindu bercampur gelora nafsu, Intan segera bersimpuh di hadapanku, berlutut, merengkuh penisku dengan kedua tangannya, menjilatinya, menghisap kepala penis, bahkan mencoba memompa batang kontolku ke dalam mulutnya yang mungil dengan rakus, bagaikan anak kecil yang telah lama menginginkan es krim.  Hampir penuh mulutnya oleh kontolku yang berukuran relatif besar.  Suara mulut Intan yang tengah menyedot kontolku menambah gairah. Slurp.... Slurp.. Slurp...
“Sshhh... Enak sayang... Oh...  Aku rindu kamu, Intanku Sayang,” rintihku setengah berbisik, merasakan kenikmatan luar biasa.Intan semakin liar, dijilatinya buah zakarku. Dihisap-hisapnya kedua bakso kontolku itu. Sementara itu tangan kanannya terus mengocok batang kontolku dengan agak kasar dan genggaman yang sangat erat akibat nafsu yang membara.  Rupanya Intan telah dua minggu ini sangat menahan hasratnya yang menggebu-gebu kepadaku.  Kontolku pun akhirnya basah kuyup,  dipenuhi air liur cinta Intan.Tanganku berusaha menjangkau kedua tetek Intan. Meremas-remasnya dengan lembut.  Akhirnya aku tidak tahan lagi untuk berganti mencumbunya.
Kuraih tubuh Intan. Kugendong menuju ranjang.  Kurebahkan tubuh Intan dalam posisi terlentang.  Kuhisap lagi bibirnya yang mungil penuh gairah dan kutelusuri seluruh rongga mulutnya yang wangi itu dengan lidahku.  Lama lidahku beradu dengan lidah Intan, saling menghisap, menjilat dan berpagutan.  Kedua tanganku yang bebas berkeliaran, mencoba meremas lembut buah dadanya dan sesekali mengelus lembut wilayah sekitar bibir vagina dan klitorisnya.  Kurasakan memek Intan semakin lembab oleh lendir asmara.Kuturunkan kepalaku. Kuhisap dan kujilati kedua puting dan ambing susu Intan, kanan dan kiri, bergantian.  Tak peduli jika kecupan-kecupan penuh birahiku di sekitar buah dadanya meninggalkan tanda merah.  Sesekali aku pun menjilat kedua ketiaknya yang tercukur mulus.  Asam agak pahit rasanya, namun justru aroma dan rasanya sangat menambah gairah birahiku.  Intan kegelian bercampur nikmat, menggelinjang.  Akhirnya, kepalaku menyusup di antara kedua kaki Intan.  Kukecupi pinggul dan bokongnya. Lalu kujilati dan kuhisap bibir vagina dan klitorisnya.“Ssshhh... Genta Sayang... Enak Sayang... Lama sekali kita tidak melakukannya...  Aku bahagia Sayang...  Gentaku Sayang...,” Intan meracau setengah berbisik.  Wajahnya dilemparkan ke kanan dan ke kiri dengan irama yang acak.  Sebuah aksentuasi gerakan yang sangat erotik. Matanya merem-melek.  Sementara kedua tangannya mencengkeram erat kepalaku, meremas-remas rambutku. Sebuah kenikmatan yang pastinya sangat membuai nafsu birahinya di malam itu.Kupermainkan lidahku di sekitar liang vaginanya. Jari telunjuk tangan kananku kumasukkan sedikit di sekitar pintu masuk liang vaginanya. Tak terlalu dalam. Kupermainkan pintu masuk itu dengan gerakan memutar yang arahnya acak, terkadang searah jarum jam, terkadang berlawanan arah dengan jarum jam. Lalu aku korek-korek bagian atas pintu masuk liang memek Intan. Sementara lidahku aku pindahkan untuk menjilati pingggiran bibir vaginanya. Kusedot dan kutelan segala cairan yang keluar dari liang memeknya.  Terasa asin namun justru menambah gairah birahiku. Tangan kiriku terkadang aku manfa’atkan untuk mengelus-elus klitorisnya, meremas bokongnya, atau mencoba meraih salah satu tetek atau putingnya.  Liang kenikmatan Intan semakin basah, baik oleh lendir bartolini yang dikeluarkannya maupun oleh air liurku. Bibir dan liang vaginanya pun terlihat semakin memerah.  Aku juga tak segan-segan menjilati liang anusnya dan sesekali memasukkan ujung lidahku sedikit ke dalamnya.  Terasa agak pahit namun justru menambah batang kontolku semakin ngaceng dan mengeras.“Genta Sayang... Kentot aku sekarang Sayangku...  Aku sudah tak sabar ingin merasakan genjotan kontolmu yang besar dan perkasa di dalam memekku yang telah basah dan gatal ini...”, Intan menghiba.Intan telah menyiapkan kondom ‘rasa strawberi’ di ranjang. Intan dengan cepat bangkit dari posisi tidurnya. Dibukanya kondom itu dan disarungkannya menyelimuti seluruh batang penisku dengan tak sabar.  Intan kembali mengulum kontolku sejenak ke dalam mulutnya untuk membantu melicinkan penetrasi. Kemudian Intan kembali merebahkan tubuhnya dan mengangkangkan kedua kakinya, memberikan jalan untuk senjataku.
“Gentaku Sayang... Aku ingin merasakan kontolmu Sayang...  Dan kamu tahu bahwa aku belum pernah merasakan genjotan kontol sebesar ini...  Baik dari Ruri kekasihku... Apalagi dari Satria suamiku yang loyo itu...”, Intan menghiba penuh nafsu membara.Aku pun segera berlutut di hadapan memek Intan, mengangkat kedua kaki Intan dan meletakkannya ke pundakku.  Kuarahkan meriamku yang telah ereksi penuh itu ke liang memek Intan.  Kucoba memutar-mutarkan kepala penisku yang besar dan memerah di sekitar pintu masuk liang memek Intan dengan gerakan seperti orang sedang mengebor.  Aku tak tega karena ukuran lubang memeknya benar-benar masih relatif rapat, hampir tak sanggup menampung kontolku yang besar. Gerakan ini justru sangat menggoda birahi Intan.  Intan mencoba melihat ke bawah, seperti tak sabar menantikan liang asmaranya kumasuki dengan batang kontolku.  Kutekan pelan-pelan batang kontolku yang panjang dan besar ke dalam liang vagina Intan.  Kulihat Intan menggigit bibir bawahnya.  Kugoyangkan pinggulku, agar penetrasi kontolku berjalan lembut dan tidak menyakiti Intan.  Akhirnya, tak terasa seluruh batang kontolku pun amblas tertanam di dalam lubang memek Intan yang hangat dan telah licin oleh lendir asmaranya.“Aaaah,,,  Ssshhh...  Oh... Kontolmu benar-benar besar Genta Sayang... Memekku kini telah penuh oleh kontolmu yang besar... Tak ada tempat lagi untuk kontol laki-laki lain...  Pantas istrimu Saras sangat posesif kepadamu... Uh...  Baru kali ini aku merasakan memekku dimasuki oleh kontol berukuran sangat besar seperti punyamu ini... Teruskan Sayang.... Buat aku orgasme yang nikmat yang belum pernah kurasakan dari suamiku maupun Ruri... Ayo Genta Sayangku...  Aku telah pasrah menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu... Kentot aku yang keras dengan kontol besarmu...”, Intan mengerang, merintih dan meracau penuh kenikmatan.  Gerakan kepalanya semakin liar blingsatan. Matanya merem-melek.Mulai kulakukan gerakan maju-mundur, keluar-masuk.  Liang memek Intan semakin melentur menerima hantaman batang kontolku yang telah menancap kuat di dalamnya.  Jalan penetrasiku pun semakin licin dan lancar.  Semakin kupercepat gerakan mengebor dari kontolku di dalam liang memek Intan.  Intan pun mulai bereaksi menggoyangkan pinggulnya, menyesuaikan harmoni dengan irama kocokan kontolku.  Suara batang kontolku yang sedang mengocok isi liang memek Intan menambah gairah. Plok... plok... plok... plok... Sungguh nikmat tak terkatakan liang memek Intan.  Berbeda dengan memek istriku, Saras, yang telah mulai terasa longgar dan hambar.  Apalagi ditambah, aku semakin tidak mencintai istriku, karena sifatnya yang membuatku bertambah antipati dan benci kepadanya.“Intan sayang... Ah... Memekmu sungguh hangat dan enak Sayang... Beda jauh dari memek Saras yang telah longgar...  Aku semakin mencintaimu Intanku Sayang... Ah...”, desahku.Goyangan pinggul Intan semakin liar.  Terkadang diangkatnya tinggi-tinggi pinggulnya, agar seluruh batang kontolku amblas, sehingga ujungnya mampu menjangkau liang memeknya yang paling dalam.  Gerakan pinggulnya pun semakin lama semakin cepat.  Terkadang memutar.  Hingga tiba-tiba, Intan meraih kepalaku, memasukkan lidahnya ke dalam rongga mulutku.  Menghisap lidahku.  Cengkeraman tangannya semakin kuat.“Oh... Genta... Kontol besarmu Sayang... Genta... Kontolmu... Besar...  Enak Sayang...  Aku mencintamu... Ah... Perkuat lagi kocokan kontolmu yang besar itu Sayang... Tunjukkan bahwa kamu memang benar-benar lelaki sejati yang jauh lebih baik daripada suamiku yang loyo itu ataupun dari Ruri... Ayo Sayang... Percepat kocokan kontolmu Sayang.... Ah... Ouh... Ouh... Ouh.. Aaaah....”, Intan  meracau dengan kata-kata yang semakin tak terkendali.  Matanya terpejam.  Kulihat sedikit linangan air mata bahagia meleleh dari balik matanya.Hingga akhirnya, Intan kembali mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi, mecoba memasukkan seluruh batang kontolku hingga mentok menggapai bagian terdalam dari liang memeknya. Memelukku erat-erat. Dan menjerit perlahan:“Genta Sayang.... Aah... Aku sudah sampai Sayang... Ah... Ouh... Aku telah sampai Sayangku... Ooooh....  Ouuh.... Ouh... Oh... Oh... Ouh... Genta... Ouh... Genta...”Nafas Intan tersengal-sengal.  Wajah dan dadanya terlihat memerah.  Kembali lidahnya dimasukkan ke dalam rongga mulutku, menciumku penuh birahi.  Kurasakan dinding memeknya berdenyut-denyut.  Sangat kuat dan lama.  Meremas-remas batang kontolku dengan tekanan yang sangat kuat.  Hingga akhirnya Intan terkulai lemas.Kukeluarkan perlahan kontolku.Intan pun segera bangkit dan merengkuh kontolku dengan mulutnya.  Dilepasnya kondom yang terpasang.    Kemudian Intan mengulum, menjilati, dan mengocok kontolku. Intan menengadah kepadaku:“Keluarkan spermamu ke dalam mulutku.  Aku akan menelan seluruh sperma yang akan kau keluarkan Sayang, sebagai pertanda cintaku padamu...”, Intan berkata sambil melemparkan senyum nakal kepadaku.Kembali Intan mengoral kontolku sambil mengocok dengan tangannya.  Semakin lama gerakan kocokan tangannya semakin cepat, hingga akhirnya aku tidak tahan lagi dan memuncratkan spermaku, mengotori isi mulut dan wajah Intan.
Intan semakin terlihat erotik dengan wajah penuh lendir asmaraku.  Dijilatnya lelehan sperma di sekitar mulutnya dan diperlihatkannya kepadaku bahwa dia mau menelannya dengan ikhlas.  Intan pun kembali tersenyum nakal menggoda.
Kukecup keningnya. Kubisikkan di telinganya bahwa aku mencintainya.
Akhirnya, kami pun beranjak dari pergumulan asmara kami berdua, membersihkan diri di kamar mandi dari peluh dan lendir asmara yang lengket di tubuh kami.
Setelah kembali berpakaian rapi, aku kembali memeluk Intan erat-erat, seolah-olah enggan beranjak pergi meninggalkannya malam itu.  Namun energi cinta kami yang membara ini harus kami hemat agar langgeng. Aku pamit kepadanya dengan sebuah ciuman penuh kasih.
Kutelusuri jalanan kampung yang telah gelap gulita itu, menuju warung Indomie tempat motorku diparkir.***Hari itu, seperti biasa aku dan Intan bertugas ke lapangan untuk mengawasi kegiatan Posyandu di beberapa desa yang menjadi wilayah kewenangan Puskesmas tempat kami bekerja.  Cukup banyak masyarakat yang harus kami layani di setiap Posyandu yang harus kami datangi, hingga kami akhirnya kembali ke Puskesmas saat waktu telah sore, di saat pegawai yang lainnya telah pulang ke rumah.  Pak Tatang, penjaga Puskesmas yang masih berada di kantor untuk menunggu kami, dengan terburu-buru  menyongsong kedatangan kami:“Punteun Pak Genta dan Bu Intan, hari ini isteri saya sakit keras.  Tadi pagi telah saya periksakan ke Dokter Puskesmas, namun memang karena kondisinya yang cukup serius, dia harus dirujuk ke rumah sakit.  Siang tadi isteri saya telah dikirim ke rumah sakit di pusat kota.  Saya harus menyusul isteri saya sekarang juga ke rumah sakit untuk melihat kondisinya. Besok pun saya terpaksa harus ijin untuk tidak masuk kerja.  Jadi, punteun, saya merepotkan Pak Genta dan Bu Intan.  Saya menitipkan kunci Puskesmas ini!”“Turut prihatin, Pak Tatang.  Semoga Bu Tatang segera pulih.  Baiklah, kunci akan saya pegang, Pak.  Mohon ma’af karena kami tidak bisa menemani ke rumah sakit, karena kami telah kelelahan setelah sepanjang hari ini berkunjung ke desa-desa.”, kutepuk perlahan pundak Pak Tatang untuk menenangkannya.
Setelah Pak Tatang pergi, aku dan Intan segera masuk ke dalam kantor.  Pintu-pintu, jendela dan tirai yang masih terbuka segera aku tutup dan aku kunci.  Setelah selesai aku bergegas menuju ruang belakang.
Kulihat Intan sedang sibuk menyimpan sisa-sisa ampul vaksin dan obat-obatan lainnya dari kegiatan Posyandu seharian tadi, memindahkannya dari termos ke dalam cold storage ukuran besar.  Saat semua ampul vaksin dan obat-obatan lainnya telah tersimpan ke dalam cold storage, Intan menutup dan menguncinya. Kemudian Intan mengisikan data ke log book, berapa banyak vaksin dan  obat-obatan lainnya yang dipergunakan untuk kegiatan Posyandu pada hari itu.  Setelah beres, Intan membalikkan badannya:“Uh. Beres sudah akhirnya. Sungguh hari yang melelahkan.  Panas terik dan banyak pasien yang tadi harus kita layani.  Sebelum kita pulang, tunggu sebentar, aku mau pipis dulu.  Sudah dari tadi aku menahan.  Jangan tinggalkan aku ya Say”, katanya  sambil membuang senyum menggoda dan bergegas berjalan menuju kamar mandi Puskesmas.Aku mengangguk, membalas senyumnya, mengerjapkan mata, dan diam-diam mengikutinya menuju kamar mandi.  Pintu kamar mandi dibiarkannya tidak terkunci.  Aku dorong dan sengaja membuka lebar pintu kamar mandi.  Aku berdiri di pintu yang terbuka lebar tersebut sambil melipatkan kedua tanganku, menonton Intan yang sedang pipis, dengan mata sengaja kubuat setengah melotot.“Iih. Nakal.  Orang pipis kok ditonton.” kata Intan sambil mencipratkan sedikit air ke arahku.  Cipratan itu mengenai wajahku, yang malahan menyejukkanku di hari yang sangat panas itu.Hari itu Intan mengenakan celana dalam berwarna ungu.  Aku sengaja menunjukkan padanya gerakan jakunku yang menelan air liur berkali-kali, dan menyapukan ujung lidahku melingkari bibir mulutku.
Kataku kepadanya sambil menyeringai:
“Bukannya tadi aku disuruh menunggu?  Aku hanya mengemban amanat saja kok!  Lha ini, aku tungguin kamu yang sedang pipis.”.Intan kembali mencipratkan sedikit air ke arahku.  Membasahi sedikit baju seragamku dan mengenai mukaku.Selesai pipis, Intan cebok membersihkan memeknya.  Tatapanku semakin kubuat liar. Menyaksikannya mengelus-elus memeknya sendiri. Melihatku masih bandel bertahan berdiri di depan pintu kamar mandi, selesai cebok, Intan malah sengaja bangkit berdiri, mengangkat kakinya satu per satu, melepaskan celana dalamnya dengan gerakan yang dibuat erotik. Sambil matanya terus menatapku, bibir bawahnya digigitnya sembari melemparkan senyum yang nakal dan menggoda.Celana dalam warna ungu yang telah terlepas itu kemudian dilemparkannnya ke arahku.  Tepat mengenai mukaku.  Aku tangkap dengan sigap, bagaikan seorang keeper yang lihai menangkap bola.  Aku remas-remas dengan kedua tanganku, kudekatkan ke  lubang hidungku, lalu kuhirup dan kucium dalam-dalam celana dalam yang beraroma khas cairan memek itu.  Sungguh sangat merangsangku. Membuat kontolku mulai membesar.  Mataku tetap menatap tajam Intan yang masih berdiri di atas toilet jongkok kamar mandi Puskesmas.
Menyaksikan aksiku, Intan pun membalasnya. Dengan sengaja, Intan mengangkat rok seragam kantornya ke atas, membalikkan posisi badannya ke arah pintu tempatku berdiri saat itu, menekuk kedua kakinya seperti seorang jawara yang tengah memasang posisi kuda-kuda, menyorongkan pinggulnya ke depan seperti pesenam yang tengah melakukan gerakan kayang, dan menekuk siku tangan kirinya  ke pinggiran bak mandi untuk menyangga berat badannya yang meliuk ke belakang. Memek Intan yang berjembut tipis tercukur rapi itu pun kini menyembul terlihat jelas dari posisiku berdiri.  Tetap menatapku dengan tajam, dan dengan bibir bawah yang sengaja digigitnya seolah-olah sedang menahan nafsu, Intan mulai mengusap-usap bibir memek dan klitorisnya sendiri dengan jemari tangan kanannya dan terkadang sengaja merentangkan kedua belahan bibir memeknya dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, sehingga lubang memeknya yang merah terlihat menganga.Aku semakin tidak kuasa melihat sajian adegan erotik live di depan mataku itu.
Kulemparkan celana dalam Intan ke sofa di ruang belakang Puskesmas yang terletak dekat kamar mandi.  Aku buka sendiri sabuk dan retsleting celanaku. Kusembulkan kontolku yang sudah mulai menegang, mengacung keluar. Sambil berdiri mengangkang seperti posisi laki-laki sedang kencing, aku usap perlahan kontolku dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memegang kusen pintu kamar mandi.  Aku balas tatapan mata Intan dengan tajam, sambil setengah berbisik aku berkata perlahan:“Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku sore ini, Intan Sayangku?”Intan yang masih beraksi dengan adegan erotiknya itu membalas:“Aku menginginkan kontolmu yang besar, panjang dan telah tegap berdiri itu untuk memuaskan memekku yang telah basah berlendir dan panas ini, saat ini juga, Sayangku.  Kentotlah aku saat ini juga.  Buat aku orgasme di tempat kita berkarya dan memadu kasih ini.  Buktikan kepada Puskesmas ini bahwa lendir asmara kita pernah menyatu dan mengotori tempat ini.”Mendengar permintaan Intan yang penuh nafsu birahi itu, aku semakin tidak tahan.  Dengan langkah memburu, kusongsong tubuh Intan yang masih bersandar di bak kamar mandi.  Kusambar tubuhnya dari tepi bak.  Aku gendong tubuh Intan yang meggelayutkan tangannya ke leherku, melangkah keluar dari kamar mandi, menuju ke sofa ruang belakang Puskesmas. Kulumat bibirnya yang setengah terbuka bertubi-tubi.Kurebahkan tubuh Intan di sofa.  Dengan liar kulepaskan kancing bajunya, menampilkan dadanya yang masih terbungkus BH berwarna ungu, naik-turun dengan nafas yang memburu, menahan nafsu birahi di hari yang panas terik itu.  Kulepaskan baju seragam dan roknya, kulemparkan ke lantai.  Kusapu isi mulutnya dengan lidahku. Lidah kami saling menjilat dan menghisap.  Kujilati telinganya dan kubisikkan kepadanya bahwa aku ingin memuaskannya sebanyak yang dia harapkan pada sore itu.Kutarik Intan dari posisinya yang terlentang, kududukkan tersandar di sofa, kuangkat dan kutekuk kedua kakinya ke atas sofa, lalu kukangkangkan sehingga memeknya yang telah sedikit basah oleh lendir dan keringat itu terbuka menganga.  Menantangku untuk memasukinya.Aku berlutut di lantai, dengan rakus kusapu memek Intan dengan lidahku.  Jembut tipisnya kujilati dan kuhisap.  Kutelan bulir-bulir peluh di sekitar jembut dan selangkangannya, bagaikan seorang pendaki gunung yang kehausan menghisap air dari lumut pohon hutan.  Kupermainkan bibir vaginanya dengan sapuan lidahku dengan gerakan vertikal, membelah kedua bibir vaginanya itu dan menyibak goa asmaranya.
Dengan bibirku, aku melumat bibir vagina Intan bagaikan melumat bibir mulutnya.  Kuciumi dan kuhisap. Kubuat cupang-cupang merah di sekitar selangkangan, pinggul dan bokongnya.  Kumasukkan lidahku ke dalam liang asmaranya, bagaikan belut yang mencoba melarikan diri dari musuhnya.  Kurasakan lendir cairan kenikmatan dari dalam liang memek Intan.  Kuhisap dan kutelan.  Asin dengan aroma yang semakin membuat batang kontolku mengacung tegak.
Ujung lidahku terkadang kupermainkan untuk menyentil kelentit Intan yang semakin menyembul karena terangsang.  Kedua tanganku tak henti-hentinya meremas-remas pantat Intan yang padat dan sintal.
Tak puas menikmati memeknya, lidahku pun aku gunakan untuk menyapu bersih lubang anusnya yang berwarna coklat kemerahan. Merekah dan beraroma khas.  Sesekali kutusukkan ujung lidahku ke dalam lubang anusnya.  Tak dalam.  Kurasakan getirnya lubang anus Intan.  Aromanya sungguh semakin membuat batang kontolku mengeras dan membesar.
Semakin liar dan bagaikan terbius oleh ekstasi lendir dan aroma asmara yang disajikan oleh memek Intan yang semakin basah, kedua tanganku pun bergerak liar menurunkan kedua tali kutangnya, menyembulkan kedua tetek Intan yang berukuran sedang namun kencang, padat dan sintal.  Kedua teteknya pun nongol dan mengacung tegak.  Kuremas-remas kedua teteknya dengan gemas dan penuh nafsu.  Kupelintir kedua putingnya yang berwarna coklat itu dengan jemariku.  Semakin mengacung tegak kedua putingnya, seolah-olah melotot menantangku.Intan terlihat sangat menikmati permainan liarku ini.  Kepalanya tak henti-hentinya dilemparkan ke kanan dan ke kiri.  Terkadang menengadah, disandarkan ke sofa.  Kedua matanya  merem-melek.  Bibir bawahnya terkadang digigitnya.  Lidahnya terkadang terlihat berputar melingkar, menyapu mulutnya sendiri. Dan terkadang pula, mulutnya setengah dibuka, dan lidahnya terlihat ditekuk ke atas langit-langitnya, seolah-olah menantikanku untuk menghisapnya.
Rintihan dan erangan Intan menunjukkan betapa dia tengah merasakan kenikmatan yang tak terkatakan.  Kedua tangan Intan pun mencengkeram erat kepalaku, meremas-remas dan mengacak-acak rambutku.“Genta Sayang... Nikmat Sayang... Oh...  Sshhh...  Ah...  Enak Sayang... Teruskan Sayang...  Oh.. Ouh... Ouh... Shhh... Genta...“, Intan mendesah tak karuan.Aku tak tahan.  Kuangkat kepalaku.  Kuhisap bibir dan lidah Intan.  Kujilati dan kuhisap kedua tetek dan putingnya. Kuangkat kedua tangannya.  Dengan kejam kujilati kedua ketiaknya yang bersih mulus.  Intan menggelinjang kegelian namun justru menambah kenikmatan birahinya yang tengah menggelora. Peluh pun mengucur deras, membasahi tubuh kami berdua.
Akhirnya aku berdiri di hadapan Intan.  Kuangkat dan kutekuk kaki kananku ke atas sofa, sementara kaki kiriku masih berdiri di lantai agak menekuk menumpu beban.  Kusodorkan batang penisku yang telah mengacung tegak ke mulut Intan.Intan pun dengan cepat menyambar batang kontolku dengan kedua tangannya.  Betapa besarnya ukuran batang kontolku. Genggaman tangan Intan pun aku lihat tak mampu menjangkau seluruh keliling batang kontolku. Dimasukkannya batang kontolku ke dalam mulutnya yang mungil.  Dihisap dengan mulutnya dan dipompa dengan tangannya.  Dijilatinya kontolku. Jilatannya dimulai dari kepala penisku yang merah kecoklatan. Lalu Intan meluncurkan jilatannya yang nikmat itu ke sepanjang batang kontolku, hingga menyentuh kantung baksoku.  Rakus Intan menikmati kontolku. Basah kuyup kontolku oleh air liur asmara Intan.Tak lama Intan menengadah dan menghiba:“Aku ingin menunggangi kontolmu yang besar ini, Genta Sayangku. Aku ingin kontol besar dan hangat ini menggergaji memekku hingga terbelah mencapai kenikmatan yang belum pernah kurasakan.”Intan beranjak berdiri dari sofa.  Kami saling berciuman sejenak, untuk kemudian aku merebahkan diri duduk di sofa, menggantikan posisi Intan.
Intan menuju almari tempat penyimpanan perlengkapan kontrasepsi. Dia mengambil sebungkus kondom, segera membuka bungkusnya dan menyarungkannya ke batang kontolku.Intan lalu bergegas naik kembali ke sofa, dengan posisi badan menghadapku, berlutut mengangkang di atas pangkuanku.  Didekatkannya pintu liang memeknya yang telah basah berlendir itu agar bisa menyusupkan batang kontolku.
“Ah...  Sshhh...  Besarnya kontolmu Sayang...  Uuhhh...  Aku yakin, aku akan mencapai orgasme yang nikmat luar biasa dengan kontolmu yang sebesar ini”, bisiknya perlahan penuh nafsu.Akhirnya, perlahan-lahan kontolku pun amblas tertancap ke dalam liang memek Intan, yang meskipun telah basah berlendir, namun tetap terasa sempit.  Hangat terasa kontolku berada di dalam liang memek Intan.  Kedua tangannya memegang sandaran sofa.  Lalu, perlahan dinaik-turunkannya pantatnya, memompa penisku.Kedua tanganku yang masih leluasa, berusaha mencari kesibukan dengan meremas-remas kedua pantatnya.  Terkadang aku gunakan untuk meremas-remas kedua payudaranya yang semakin memantul-memantul mengikuti gerakan naik-turun pompaan memek Intan.  Wajahku kutengadahkan menatap wajah Intan yang memancarkan nafsu birahi yang semakin menggelora.Saat itu, Intan bagaikan seorang joki yang tengah memacu kuda tunggangannya untuk membawanya menuju ke puncak asmara. Terkadang diturunkannya wajahnya, mendaratkan juluran lidahnya ke dalam rongga mulutku.“Ah... Intan..  Kontolku terasa enak digesek oleh memekmu yang hangat dan sempit Sayang...  Ah...  Kamulah kekasih sejatiku Sayang...  Saras hanya kebetulan saja mengisi hidupku sebagai isteri...  Kamulah yang membuatku bahagia, Intanku Sayang”, aku meracau tak terkendali.“Kontolmu yang besar ini juga enak Genta Sayang...  Aku telah lama mendambakan kontol sebesar dan seperkasa ini.  Punya suamiku loyo.  Kontol Ruri, mantan kekasihku pun tak sebesar kontolmu.  Kontolmu jauh sangat besar, Sayang...  Kamu juga kekasih sejatiku Genta Sayang. Suami dan mantan kekasihku hanyalah pengisi hidupku saat kita belum bertemu.  Kitalah kekasih sejati itu Genta Sayangku.  Genjot terus memekku dengan kontolmu yang besar ini, Gentaku Sayang... Genjot memekku yang sempit dan gatal ini dengan kontol besarmu... Yang keras Sayang, hingga aku orgasme...’, Intan membalas racauanku.Aku semakin bernafsu.  Yang tadinya aku hanya berlaku pasif, diam saja menerima pompaan dari gerakan naik-turunnya pinggul Intan yang liar, kini aku membalas tarian liar Intan dengan menaik turunkan pinggulku, menyesuaikan irama gerakan pinggul Intan.
Semakin lama, gerakan kami semakin keras dan tak terkendali.  Tak kami hiraukan bunyi suara pegas di dalam sofa yang berdecit-decit menerima hantaman gaya dari goyangan kami yang semakin lama semakin dahsyat bagikan gempa 9,8 skala Richter di sore itu.
Intan semakin liar, ditekannya seluruh batang kontolku hingga amblas mencapai ujung liang memeknya, sehingga tak berkutik sama sekali untuk bergerak, kemudian digoyangkannya pinggulnya dalam gerakan memutar,  arahnya acak, terkadang searah jarum jam, terkadang berlawanan arah dengan jarum jam, sehingga mampu menggesekkan bibir vaginanya yang telah menganga oleh ungkitan batang kontolku serta menggesekkan klitorisnya yang telah merah membengkak ke rambut jembut kontolku.Aku tak mau mengalah.  Kuangkat kedua pantat Intan dengan kedua tanganku, sehingga batang kontolku terbebas dari tahanan jepitan memeknya, dan dengan gerakan yang semakin cepat, kupompa batang kontolku, mengobok-obok seluruh isi liang memek Intan.“Ah...  Uh... Makin perkeras  kentotanmu Genta Sayang... Cepat... Makin perkeras...  Jangan berhenti... Aku sudah mau sampai... Berikan seluruh isi kontolmu...  Benamkan dalam-dalam ke dalam liang memekku yang masih  sempit ini.  Tunjukkan bahwa kamu laki-laki sejati berkontol besar... Cepat Sayang... Berikan kontolmu lebih daripada yang pernah kuterima selama ini”, Intan semakin liar dan bernafsu...Aku pun memperkeras dan mempercepat gerakan mempompa keluar-masuk kontolku ke dalam liang memek Intan. Kulihat semakin memerah bibir vagina Intan, dan semakin menonjol serta menegang klitorisnya yang menyerupai kacang itu.Batang kontolku pun semakin dibasahi oleh lendir asmara yang semakin banyak dikeluarkan oleh dinding liang memek Intan.
“Kita orgasme bersama Intan Sayang...  Aku juga akan memuntahkan spermaku segera... Tapi aku akan bersabar menunggumu setelah kamu mencapai orgasme terlebih dulu...  Cepat Intanku Sayang... Aku ingin melihatmu orgasme terlebih dulu...”Kuperkeras dan kupercepat pompaan kontolku. Intan pun menyambutnya dengan semakin mempercepat goyangan pinggulnya yang diserasikan dengan hantaman gerakan batang kontolku.  Hingga akhirnya, Intan meliukkan badannya ke belakang, seperti posisi orang yang mau kayang.  Tangannya mencengkeram erat kepalaku. Takut terjautuh ke belakang.
Lalu, dengan gerakan yang tiba-tiba, Intan kembali meliukkan badannya ke depan. Kedua buah payudaranya disorongkan tepat di mulutku, yang segera kusambut dengan jilatan dan hisapan yang rakus. Wajahnya didekatkan kepadaku. Mulutnya menganga menjulurkan lidah ke dalam rongga mulutku, menghisap lidahku yang dengan rakus menyambutnya dengan hisapan penuh hafsu.
“Ayo kita keluar bareng Sayang...” pintanya.Kupercepat dan kuperkeras lagi tekanan pompaan kontolku.
Dan akhirnya, aku merasakan denyutan keras dari dinding liang memek Intan, meremas-remas batang kontolku yang masih memompanya di dalam liang senggamanya.  Tak tahan.  Aku pun segera memuntahkan spermaku setelahnya.  Kami pun saling berpelukan erat.  Merasakan denyut-denyut hasil pencapaian jalinan asmara penuh birahi di sore itu.  Nafas kami tersengal-sengal.  Intan membungkukkan badannya dan merebahkan kepalanya di dadaku.
Kucium dan kuusap kepalanya dengan penuh mesra.  Lama kami berpelukan, berciuman dan saling memuji kehebatan permainan asmara kami.
Kulirik waktu di jam dinding Puskesmas telah menunjukkan pukul 16.30.
Kulepaskan kontolku dengan perlahan dari liang memek Intan.  Isi sperma sengaja aku tumpahkan dari dalam kondom ke lantai Puskesmas:“Sebagai pertanda bahwa asmara kita pernah terjadi di sini”, kataku sambil tersenyum.
Intan pun membalas senyumku dan mengecupku.Kami pun segera bergegas menuju ke kamar mandi Puskesmas untuk membersihkan diri.
Kondom aku buang dan aku siram ke toilet kamar mandi agar tidak ada yang menaruh curiga esok harinya.Setelah berpakaian rapi, kami berdua pun pulang.  Terlebih dahulu aku mampir ke rumah kontrakan Intan, mengantarkannya pulang.
Di rumah, ibu mertua dan anak-anaknya telah menunggu kedatangannya.
Intan pun memasang wajah berkespresi penuh penyesalan karena telah pulang terlambat dan berkata kepada Ibu Mertuanya:“Mohon ma’af, Ibu. Saya tadi harus bertugas untuk melayani Posyandu ke desa yang jauh.  Setelah itu, saya harus merujuk pasien ke rumah sakit di kota”.Ibu Mertua Intan justru merasa iba:“Kasihan kamu, In.  Kamu pasti capek sekali.  Nanti malam ibu akan mengurut kamu.  Terima kasih Pak Genta telah mengantarkan menantu saya.”Aku turun dari motor.  Mencium tangan Ibu Mertua Intan.  Sangat bercampur-baur  perasaanku saat itu.  Antara menyesal karena telah mendosai anaknya, dengan bahagia karena telah menemukan kekasih sejatiku.Setelah berbasa-basi sebentar, aku pun berpamitan pulang.  Di sepanjang jalan, aku merasakan angin senja di hari yang terik itu turut mengiringiku, seolah-olah turut mendukung jalinan hubungan asmara gelapku dengan Intan.
Aku paham bahwa apa yang kami lakukan tidak benar, namun aku terkadang berpikir bahwa kami berdua hanyalah korban dari ketidakharmonisan hubungan rumah tangga kami.  Andai kami dipertemukan sejak awal, mungkin kejadian semacam ini tidak pernah terjadi.Namaku Genta. Aku bekerja sebagai perawat di sebuah Puskesmas yang terletak di sebuah desa di kaki gunung salah satu kota pegunungan di Jawa Barat. Aku sendiri berasal dari sebuah kota perbatasan jawa-sunda di Jawa Tengah; namun, aku sudah merantau ke kota pegunungan di Jawa Barat ini sejak lulus SMP;  untuk meneruskan pendidikan di salah satu SPK di kota tersebut, hingga aku lulus dan akhirnya bekerja sebagai PNS di Puskesmas tempatku bekerja saat ini.  Sebagai seorang laki-laki, aku sangat beruntung.  Meskipun profesiku hanyalah seorang perawat, namun wajahku tergolong ganteng, berkulit putih.  Banyak yang bilang bahwa aku mirip dengan Primus Yustisio.  Perawakanku tinggi tegap, berbadan kekar. Tinggi badanku hampir mencapai 175 cm.  Aku pun diberi kelebihan memiliki suara merdu. Di SPK tempatku menggali ilmu keperawatan, aku menjadi vokalis band sekolah, yang diidolakan para siswi di sekolahku.Selepas lulus SPK, aku menikahi kakak kelasku, Saras namanya, yang termasuk salah satu fans beratku di sekolah.  Kami telah berumah tangga sekitar 3 tahun ini, dianugerahi sepasang anak, laki-laki dan perempuan. Saras sendiri bekerja di Puskesmas lain di wilayah  kabupaten yang sama dengan tempatku bekerja saat ini, namun dengan lokasi yang berjauhan dari Puskesmas tempatku bekerja.Saat perkawinanku dengan Saras menginjak tahun ke-2, konflik rumah tangga mulai meretakkan hubungan kami. Semua ini dipicu karena kecemburuan dan rasa posesif Saras kepadaku yang berlebihan.Saras bukan termasuk wanita idola di SPK. Aku menikahinya karena faktor kedekatan kedua orang tua kami.  Awalnya, kedua orang tua kami sering bertemu pada beberapa event acara sekolah.  Karena kebetulan mereka sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan merasa anak-anak mereka sama-sama perantau, akhirnya mereka pun bersahabat, bahkan mereka sering saling mengunjungi satu sama lain. Jadi aku menikahi Saras lebih karena kesamaan kultur dan kedekatan hubungan orang tua.Saras bukanlah sosok perempuan yang berparas cantik.  Wajahnya biasa-biasa saja, bahkan cenderung di bawah rata-rata. Saras bukanlah satu-satunya pacarku di SPK.  Memanfaatkan keberuntunganku yang diidolakan para wanita, aku memacari hampir seluruh siswi SPK yang menganggumiku saat itu, mulai dari adik kelas hingga kakak kelasku.  Saat itu, aku adalah playboy di sekolahku.Barangkali, satu-satunya kelebihan yang dimiliki Saras adalah buah dadanya yang berukuran di atas rata-rata.  Tentu saja, melihat ukuran buah dada super seperti itu membuat nafsu primitifku menggebu untuk ‘menetek’. Aku memanfa’atkan ketertarikan Saras kepadaku untuk melampiaskan nafsu birahiku. Di saat itu, yang penting nafsu birahiku terlampiaskan dengan gratis dari seorang perempuan bertetek besar yang dengan ikhlas menyerahkan jiwa raganya kepadaku.  Aku tidak peduli apakah Saras mencapai kenikmatan birahi yang sama denganku, atau semata-mata tanpa pamrih hanya ingin melayani nafsu bejat ‘idolanya’. Semua aku lakukan atas dasar nafsu, tanpa cinta.Selepas lulus SPK, aku tidak tega untuk menolak ajakannya menikah.  Sebejat-bejatnya niatku saat itu, aku merasa telah menodainya.  Meskipun Saras tidak pernah hamil dariku di luar pernikahan, karena aku selalu menggunakan kondom saat bersenggama dengan pacar-pacarku, namun aku merasa bahwa tubuhnya telah banyak ternoda oleh lendir birahiku.  Dan aku pun merasa sungkan untuk menampik ajakannya menikah, karena kedua orang tua kami telah saling mengenal.  Aku tidak mau hubungan silaturahmi antar keluarga kami menjadi retak akibat penolakanku.Kesenjangan inilah yang akhirnya baru disadari oleh Saras dan membuatnya menjadi pencemburu yang berlebihan.  Aku, sebagai suaminya, termasuk tipe pria dambaan para wanita, sedangkan Saras hanyalah wanita yang baru akan dilihat oleh para pria tatkala mereka sedang horny ataupun mabuk berat, akibat ukuran buah dadanya yang terlalu mengundang.Kecemburuan yang berlebihan seperti ini sangatlah membuatku tidak nyaman.   Bagaimana tidak.   Setiap kali aku pulang terlambat, Saras selalu curiga dan menginterogasiku habis-habisan atau bahkan mencoba mencari informasi ke teman-teman sekantorku, menginvestigasiku seolah-olah aku telah berselingkuh dengan wanita lain.  Padahal saat itu aku pulang terlambat untuk mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di tempat-tempat praktek poliklinik 24 jam sebagai asisten para dokter jaga.   
***Di saat rumah tanggaku mulai retak, di Puskesmas tempatku bekerja kedatangan bidan baru, yang dimutasi dari salah satu Puskesmas di Jawa Tengah karena mengikuti suaminya yang bekerja sebagai peneliti di kota pegunungan tempatku bekerja saat ini.  Intan namanya.  Dan dia pun ternyata berasal dari kota asalku di Jawa Tengah.Intan  berparas cantik. Hidungnya relatif mancung, berbibir sensual, bermata lebar dengan bulu mata lentik, dan berkulit sawo matang seperti rata-rata perempuan Jawa Tengah.  Wajahnya berada di antara Ayu Azhari dan Paramitha Rusadi. Tinggi badannya setinggi Saras. Meskipun saat itu aku hanya bisa memperhatikannya dari balik baju seragam kantornya, tapi jelas terlihat bahwa ukuran buah dadanya jauh lebih kecil dibandingkan ukuran buah dada Saras yang super. Namun tubuhnya sintal.  Pantat dan pinggulnya pun padat berisi. Dan cara berjalannya yang lenggak-lenggok dengan goyangan pantatnya yang seolah-olah sedang bergoyang asmara, serta cara bertuturnya yang halus lembut mendesah, sungguh sangat menggoda birahi para pria. Dalam hati aku menaruh rasa iri dengan pria yang telah menikahinya.***Meski bukan suaminya, aku pun akhirnya menjadi pria lain yang beruntung, karena Intan ditugaskan oleh Dokter Kepala Puskesmas tempat kami bekerja sebagai partner dalam tugas-tugas lapangan terkait kegiatan Posyandu bersamaku.  Dan, faktor kesamaan asal daerah pun sangat mempercepat keeratan hubungan kami berdua.
Di saat-saat awal Intan bertugas, bahasa sundanya masih belum fasih benar.  Akulah yang membantunya, mendampinginya menjadi interpreter setiap kali Intan berhadapan dengan pasien yang hanya bisa berbahasa sunda.Setiap kali kami harus bertugas ke lapangan, Intan membonceng motorku.  Kecantikan Intan dan kegantenganku, membuat kami sebagai pasangan kerja sangat cepat dikenal bahkan diidolakan masyarakat desa di wilayah kerja kami.  Bahkan mereka berseloroh bahwa kami sangat pantas menjadi pasangan kekasih.  Saat itu, kami hanya menanggapi seloroh seperti itu dengan tawa.Sebagai laki-laki normal dengan gairah birahi yang masih menyala, sejujurnya, setiap kali Intan membonceng motorku, darahku berdesir.Apalagi motorku adalah motor lapangan.  Motor tril yang jok-nya menungging.  Membuat Intan, yang meskipun memakai rok dengan ukuran sebatas lutut, mau tidak mau harus memboncengku dengan mengangkangkan kakinya, dan tubuhnya pun terpaksa harus merapat ke tubuhku.
Dari kaca spion motor, terkadang kulihat pahanya yang mulus tersingkap.  Apalagi di saat kondisi jalan yang tidak rata, dengan topografi yang naik-turun.  Seringkali aku harus mengerem motor dengan mendadak, menjadikan dada Intan menggencet punggungku.  Atau di saat menuruni jalanan makadam yang menurun cukup terjal, Intan terpaksa harus mempererat pegangan tangannya ke pinggangku.Aku heran, karena setiap kali kejadian yang sebenarnya membangunkan nafsu birahiku itu, tak ada satu pun komplain yang kudengar keluar dari mulut Intan.  Bahkan, kadang-kadang Intan malah meresponnya dengan mencubit pahaku dan berkata menggoda:“Sengaja lewat jalan seperti ini, ya Pak? Dasar nakal!  Kurang kerasa tuh... Lagi dong yang lebih berasa!”Aku hanya membalasnya dengan tertawa.  Padahal, degup jantungku di momen-momen seperti itu berdetak tak karuan.  Libidoku bangkit.  Ingin rasanya kulampiaskan nafsu birahiku dengan menggumuli Intan saat itu juga.  Namun aku sadar akan akibatnya.  Jika nafsuku ternyata bertepuk sebelah tangan, pastilah karirku akan hancur. Sehingga, aku hanya bisa berdo’a dalam hati, agar Intan merasakan hal yang sama di momen-momen ‘nakal tak disengaja’ akibat kondisi alam seperti itu.  Aku  pun selalu berusaha untuk menutupi gejolak ‘asmaraku’ dan nafsu birahiku kepada Intan.
Lebih jauh, untuk menutupi agar gelora asmaraku kepada Intan yang mulai membara tidak diketahui, baik oleh Intan maupun Saras, istriku yang pencemburu berat itu, saat Saras datang ke Puskesmas untuk menemuiku, Intan kuperkenalkan kepada Saras.  Karena Saras juga berasal dari salah satu kota di Jawa Tengah dengan kultur yang hampir sama dengan kultur kota kami berdua, Intan dan Saras pun akhirnya malah akrab bersahabat.  Bahkan, akhirnya mereka malah sering saling menelpon satu sama lain untuk sekedar ngobrol dengan topik tentang kedinasan atau sekedar basa-basi, ngobrol ngalor-ngidul dan bahkan bergosip.  Sering kudengar mereka di telpon malah menggosipkan tentang diriku yang menurut mereka polos dan lugu, sambil cekikikan mentertawakan diriku.
Dalam hati, aku berharap bahwa sebenarnya Intan pun memendam perasaan yang sama kepadaku, dan kini dia sedang melancarkan tak-tik dan strategi agar Saras tidak mencurigai dan mencemburuinya.***Setelah hampir setengah tahun aku berkenalan dengan Intan dan menjadi partner kerjanya di lapangan, dan di saat semakin parahnya keretakan hubungan rumah tanggaku dengan Saras akibat sifat cemburu dan posesifnya yang semakin lama semakin tak terkendali, akhirnya aku memberanikan diri untuk curhat mengenai keadaan rumah tanggaku itu kepada Intan.  Untungnya, dengan kecerdikan Intan yang telah membungkus hubungannya dengan Saras menjadi hubungan persahabatan dan bahkan telah berhasil digiringnya ke arah hubungan persaudaraan sebagai pasangan kakak-adik,  Saras tidak pernah menjadikan Intan menjadi salah satu korban rasa cemburunya.  Di sisi lain, yang menjadi korban rasa cemburu Saras selama ini adalah para wanita yang kebetulan beretnis sunda, baik yang berada di lingkungan kerjaku maupun di lingkungan rumahku.  Barangkali, Saras masih berpikiran sempit, dengan serta-merta memberikan stigma yang buruk kepada para wanita sunda, menganggapnya bahwa mereka jauh lebih mudah diajak berselingkuh dibandingkan para wanita jawa.  Jika dugaanku benar, maka semakin selamatlah Intan dari ancaman amukan Saras.Aku semakin mengagumi Intan, karena dia tipe pendengar yang sangat baik, yang mau mendengarkan segala keluh-kesahku.  Di saat aku sedang curhat, sama sekali dia tidak pernah memotong ataupun mengacuhkan keluh-kesahku.  Dia hanya diam mendengarkanku penuh perhatian. Setelah aku selesai menceritakan segala keluh-kesahku, Intan baru akan meresponnya dengan pernyataan keprihatinan yang mendalam dan mendo’akanku agar segera diberi solusi yang terbaik oleh-Nya, tanpa pernah satu kali pun memberikan judgement atau bahkan nasihat.
Akhirnya, sudah menjadi kebiasaan kami setelah pulang bertugas dari lapangan, kami tidak langsung kembali ke Puskesmas; namun mencari tempat di sekitar hutan pinus di kaki pegunungan wilayah kerja kami, hanya untuk saling curhat sambil beristirahat melepas lelah.Intan pun akhirnya mulai memberanikan diri membicarakan suaminya, Satria namanya, yang meskipun bekerja sebagai peneliti yang seharusnya ‘intelektual’, namun ternyata memiliki kebiasaan buruk, mabuk setiap malam dan selalu berperilaku kasar kepadanya.  Intan menceritakan juga kepadaku bahwa perkawinannya dengan suaminya serupa dengan perkawinanku dengan Saras, yaitu karena faktor kedekatan hubungan kultural antar orang tua.  Bahkan Intan lebih parah, karena ibunya adalah mantan anak buah dari sebuah kantor yang pernah dipimpin oleh bapak mertuanya.  Intan akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Satria karena Satrialah pria yang pertama kali berani untuk meminangnya.  Padahal, saat itu Intan tengah menjalin hubungan asmara dengan anak induk semangnya di desa tempat dia bertugas saat itu, Ruri namanya.  Ruri memiliki perawakan yang mirip dengan perawakanku, tinggi tegap, dan berkulit putih.  Menurut Intan, wajah Ruri mirip dengan Ari Wibowo.  Sayangnya, sebagai orang kampung, Ruri minder untuk datang menghadap orang tua Intan, menyatakan lamarannya.  Intan bercerita bahwa sebenarnya dia sangat mencintai Ruri.

   Bahkan Intan akhirnya berani menceritakan kepadaku tanpa rasa malu, bahwa di malam pertamanya, Intan berpura-pura kesakitan luar biasa saat Satria akan melakukan penetrasi, karena Intan sebenarnya takut ketahuan akibat telah menyerahkan keperawanannya kepada Ruri. Selain itu, Intan pun sebenarnya tidak menginginkan jika ‘cinta’nya diserahkan kepada laki-laki lain selain Ruri.  Betapa tidak?  Sangat jauh berbeda antara Satria, suami Intan, dibandingkan Ruri.  Satria berperawakan pendek.  Tinggi badannya hanya mencapai 165 cm.  Warna kulit  Satria pun hitam legam.  Dengan perawakan yang kurus.  Sangat jauh dengan Ruri.  Apalagi dari ukuran penis.  Intan bercerita dengan polos, betapa ukuran penis suaminya sangat kecil, dan sulit sekali untuk mampu ereksi berdiri tegak. Sedangkan penis Ruri yang berperawakan hampir sama denganku, menurut Intan sangat jauh di atas rata-rata, hingga genggaman tangan Intan pun tidak mampu menjangkau seluruh keliling batang penisnya.

Lebih jauh lagi, di saat suaminya akhirnya diberinya ijin untuk melakukan penetrasi, Intan selalu membayangkan Ruri.  Namun, tentu saja sangat jauh berbeda, karena sensasi yang diberikan oleh ukuran penis suaminya yang kecil itu tak mampu menggantikan sensasi ukuran penis Ruri yang menurutnya besar.  Ditambah lagi, suaminya tak akan mampu bertahan lama, terlalu cepat berejakulasi sebelum Intan mencapai puncak.Di saat itulah aku mulai menyadari, bahwa mungkin kami sengaja dipertemukan dalam hidup ini, karena selama ini kami adalah pria dan wanita yang kurang beruntung yang telah menikahi  pasangan yang jauh dari harapan kami.***Di suatu hari, selepas aku dan Intan menjalankan tugas Posyandu di sebuah desa terpencil yang menjadi kewenangan Puskesmas kami, di tengah perjalanan dengan motor trilku, dari belakang Intan meremas pelan pundakku dan berkata setengah berbisik di dekat telingaku, “Bisakah kita berhenti sebentar untuk ngobrol, Pak?”Aku mengangguk, dan berusaha mencari tempat yang tepat. Akhirnya, kutemukan tempat yang sepi, sebuah lansekap berhutan bambu.  Motor kubelokkan dari jalan aspal ke jalan setapak menuju hutan bambu yang rimbun.  Senyap suasana di wilayah itu.  Hanya kicauan burung-burung kecil dan bunyi serangga hutan yang terdengar.  Terasa sangat damai.“Apa yang ingin kamu ceritakan kepadaku, In?”, tanyaku.Intan hanya diam terpaku. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca dan akhirnya berlinang air mata.Kudekati Intan.
“Ada apa In? Ceritakan apa yang membuatmu menangis?”Intan semakin tak kuasa menahan perasaannya.  Tangis Intan semakin meledak. Tersedu-sedu.  Aku tak tega melihatnya seperti itu.  Kudekati dia.  Kupeluk Intan dengan lembut.  Intan pun merebahkan kepalanya ke dadaku.  Kuelus-elus kepalanya, sambil terus berbisik kepadanya:
 “Ceritakan kepadaku, apa masalahmu?  Sebagai sahabatmu, aku akan mendengarkan”.
  Basah kuyup baju seragamku oleh gelinang air matanya.  Kukecup berkali-kali keningnya untuk menenangkannya. Setelah agak tenang, kami duduk di hamparan tanah yang penuh dedaunan bambu kering. Intan pun mulai bercerita.“Semalam, aku bertengkar dengan Satria, suamiku.  Satria memutuskan untuk pergi meninggalkanku beberapa tahun, meneruskan studinya di salah satu negeri di Eropa.  Dia mendapatkan beasiswa dari pemerintah asing.”, Intan mengawali pembicaraan.“Lho, kenapa? Apa salahnya?  Bukankah itu tujuan yang mulia?  Demi masa depan kalian?  Aku juga menginginkannya jika aku memiliki kesempatan seperti Satria”, kataku.“Sebagai isteri yang masih bergairah, aku masih membutuhkan kehadirannya, untuk memenuhi hasrat seksualku.  Meskipun, Satria nyatanya tidak pernah bisa memuaskanku dengan kondisi fisiknya yang loyo.  Selama ini, terus-terang gejolak birahiku hanya terpuaskan oleh permainan vibrator suamiku, bukan murni karena hubungan fisik sewajarnya.  Usiaku kini masih 29 tahun, masih bergejolak dan membutuhkan pelampiasan nafsu birahi yang intensif.  Semalam, aku berusaha membujuk suamiku untuk tidak meninggalkanku hanya demi gelar. Aku katakan kepada Satria, yang kubutuhkan sekarang bukanlah masa depan, namun kepuasan batin!  Tapi, dia tetap bersikukuh untuk melanjutkan studinya. Bahkan dengan kasar Satria menamparku, sambil mengatakan bahwa jika kebutuhan batin yang kubutuhkan, maka dia menyuruhku untuk memenuhinya dari laki-laki lain selama dia meninggalkanku”, jawab Intan.Aku iba mendengar penjelasan Intan.  Sungguh malangnya Intan.  Kebahagiannya benar-benar dijajah oleh perkawinannya. Namun, di satu sisi, aku merasa mendapatkan kesempatan emas, karena hasratku untuk bisa memiliki jiwa dan raganya telah berada di depan mata.  Hanya tinggal waktu dan sedikit tak-tik yang cerdik. Lalu aku berkata:“In, sebagai sahabat, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”“Pak Genta, bolehkah aku, mulai saat ini kamu terima menjadi kekasih gelapmu?  Aku adalah istri yang tersakiti dan nyaris tak pernah mendapatkan kebahagiaan cinta yang sesungguhnya dari suamiku. Sekali lagi, selama ini, aku hanya bisa orgasme saat suamiku menyalakan vibrator yang dibelinya dari Amerika.  Penisnya sama sekali tidak pernah memuaskanku.  Ukurannya terlalu kecil untuk bisa memuaskanku.  Dan untuk ereksi pun susah. Aku pun akhirnya tahu bahwa kamu juga seorang suami yang disakiti oleh istrimu yang pencemburu itu.  Sejujurnya, kamu termasuk tipe laki-laki yang aku dambakan.  Kriteria kejantananmu tak kusangkal lagi.  Kamu adalah tipe pria yang didambakan oleh banyak wanita. Sejujurnya, akhir-akhir ini,  aku selalu membayangkanmu di saat bercinta dengan suamiku yang bermodal vibrator itu.  Aku berharap, kamu tidak menolak ajakanku untuk saling membahagiakan ini, Pak Genta”, Intan menjawab dengan lugas dengan tatapan matanya yang tajam seolah-olah ingin menikam jantungku yang makin berdegup keras karena kaget mendapatkan tawaran yang memang telah kuinginkan selama ini.Masih  terkesiap, aku tak mampu berkata apa-apa.  Bercampur-aduk perasaanku saat itu.  Betapa tidak.  Sudah lama aku menginginkan untuk memiliki wanita ini.  Selama ini, aku bahkan mencoba menutupi gejolak perasaanku di hadapan Intan. Dan baru saja, Intan justru yang memintaku untuk memilikinya.  Terima kasih, Ya Tuhan.
Sebenarnya, aku ingin langsung mencumbu Intan di saat itu juga.  Telah lama aku mengharapkan untuk bisa melampiaskan gairah cinta bersamanya.  Namun, aku ingin menjadikan momen seperti ini lebih berharga.  Aku dekap Intan erat-erat.  Aku usap rambutnya.  Kukecup keningnya dan perlahan-lahan penuh perasaan aku lumat bibirnya dengan lembut, sambil membisikkan,“In, sejujurnya aku telah jatuh cinta kepadamu sejak awal kita bertemu... Mulai saat ini, aku adalah kekasih gelapmu, Sayang.  Aku akan melindungi dan membahagiakanmu selama kita bersama...  Kamulah wanita dambaanku selama ini...”Lama aku memeluk Intan. Kami pun berciuman layaknya remaja puber yang baru merasakan nikmatnya berpacaran.  Bibir kami saling berpagutan.  Lidah kami saling bertautan bertukar air liur asmara.  Sejujurnya, penisku saat itu sudah menegang.  Dan aku yakin, vagina Intan pun mungkin telah basah kuyup.  Namun, aku sadar bahwa kesempatanku untuk bercinta dengan Intan telah terbuka, sehingga aku bisa melakukannya di saat dan tempat yang lebih tepat.Akhirnya, aku sudahi kencan pertama yang membangkitkan gairah birahi itu karena kita berdua harus bergegas kembali ke kantor untuk melaporkan tugas lapangan.  Aku berjanji kepada Intan bahwa aku akan selalu hadir membawa cintaku kepadanya, di saat dan tempat yang tepat.  Intan pun mengangguk lemah dan mengakhiri pertemuan itu dengan mengecup bibirku.***Di hari-hari berikutnya, selepas jam kantor, aku dan Intan sering berkencan.  Paling sering, kami berkencan di mall kota, sambil makan siang.  Suatu saat, selesai makan siang, seusai berbincang mesra di restoran sebuah mall, kami tak mampu menahan nafsu birahi kami lagi. Betapa tidak, Intan bercerita setengah berbisik kepadaku bahwa semalam dia orgasme dari vibrator yang dinyalakan suaminya dengan membayangkanku.  Bahkan di saat orgasme, Intan membisikkan namaku perlahan.  Serupa denganku.  Semalam pun, aku bercinta dengan isteriku, dalam keadaan mata terpejam, karena aku membayangkan bahwa yang tengah kugauli saat itu adalah Intan. Bahkan di saat ejakulasi, dengan perlahan kubisikkan nama Intan dari celah bibirku. Jelas saja kami berdua tak tahan dengan godaan imajinasi yang kami ciptakan sendiri semalam.  Penisku sudah semakin membesar, mendesak celana yang masih ketat membungkusnya, segera ingin memberontak keluar untuk menemui kekasih hatinya.  Aku perhatikan, Intan pun telah terangsang oleh khayalannya semalam.  Duduknya gelisah.  Pantatnya selalu digeser tak tentu arah.  Kedua kakinya bergerak-gerak membuka dan menutup, sambil pandangan matanya kadang-kadang melirik ke bawah, seolah-olah khawatir jika cairan yang mungkin telah membasahi memeknya terlalu deras mengalir dan menetes ke lantai.  Rona wajahnya semakin memerah.  Terkadang pula matanya mencuri pandang ke arah selangkanganku, seolah-olah tidak sabar untuk menggenggam senjataku yang telah dirindukannya. Kami semakin tak sabar, ingin segera mengubah khayalan kami semalam menjadi kenyataan.  Saat itu juga.Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajak Intan menonton film di bioskop dalam mall tersebut.  Aku tidak peduli judul maupun isi filmnya.  Yang aku butuhkan adalah tempat yang ‘aman’ untuk mencumbu Intan.
Kami berdua pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan sama sekali.  Begitu ruang bioskop mulai gelap, kami saling berciuman penuh nafsu.  Lidah kami saling berpagutan dan menghisap.  Nafas kami memburu.  Tak beraturan dan penuh desahan.  Seolah-olah telah bertahun-tahun kami tidak pernah mereguk kenikmatan birahi.  Sementara tangan Intan tidak sabar meraih celanaku, membuka sabuk dan retsleting celanaku, mengeluarkan penisku yang telah tegang dan meremasnya dengan gemas.Genggaman tangan Intan yang kecil ternyata tak mampu menggenggam penuh batang penisku yang telah tegak berdiri.“Oh Sayang... Ukuran penismu jauh lebih panjang dan besar daripada kontol suamiku ataupun Ruri mantan kekasihku... Dan kamu benar-benar lelaki sejati Genta Sayang... Kontolmu benar-benar telah tegak berdiri seperti batang bambu...  Sungguh aku sangat beruntung karena saat ini aku bisa menggenggamnya...  Kontolmu sangat hangat dan perkasa penuh otot Genta Sayangku...”Mata Intan tak mau lepas menatap kagum penisku yang telah berada dalam genggaman tangannya. Dielusnya, diremasnya, dan dikocoknya.  Sesekali dijulurkannya lidahnya ke dalam mulutku. Nafas kami semakin memburu.Aku tak sabar menghadapi godaan nafsu birahi Intan yang menggelora. Aku membuka kancing baju seragam kantor Intan, dan meremas buah dadanya yang masih terbungkus BH berwarna hitam dengan penuh nafsu.  Kuturunkan kedua tali BH Intan, sehingga melorot dan menyembulkan kedua buah payudaranya. Meskipun ukuran buah dada Intan jauh lebih kecil dibandingkan milik istriku, namun kencang, padat berisi dan bentuknya sungguh sangat seksi, mengacung tegak ke depan.  Menantang!  Berbeda dengan tetek Saras yang meskipun besar, tapi justru merosot ke bawah tak kuat menahan beban. Dengan penuh nafsu kujilati dan kuhisap puting susu Intan yang berwarna merah kecoklatan, kanan-kiri bergantian.  Intan merintih keenakan.  Semakin menegang, mengeras dan mengacung kedua puting susunya.
“Ssshhh... Ah...  Genta Sayangku... Oh... Enak Sayang... Oh... Teruskan Sayang... Ah...”Nafasnya semakin tersengal.  Kususupkan tangan kananku ke dalam rok Intan.  Kuraba celana dalamnya.  Kutemukan celana dalamnya  telah basah, tepat di belahan memeknya.  Intan tak sabar. Dilepasnya celana dalamnya, disingkapkannya roknya dan diangkatnya kedua kakinya ke atas kursi, menekuk kedua lututnya dan mengangkangkan kedua pahanya untuk memberikan jalan yang lebih leluasa kepadaku.“Lakukan Genta Sayang... Lakukan sekukamu untuk memuaskan nafsu birahiku...”, pintanya.Jemariku pun dengan leluasa mengelus-elus kelentit dan belahan memek Intan dengan lembut.“Oh... Genta Sayang... Elusan jemarimu enak Sayang... Tanganmu kokoh dan perkasa... Oh...”Intan terus mengocok kontolku dengan irama yang semakin cepat.  Aku pun merasakan kenikmatan luar biasa dari kocokan tangan mungilnya.Agar spermaku tidak muncrat ke mana-mana, aku tahan tangan Intan.  Kuhentikan sejenak.  Kupasang kondom yang sengaja kubawa untuk membungkus penisku.
Cerita film yang tertayang di depan kami sama sekali tak kami pedulikan.  Aku dan Intan semakin terhanyut dalam permainan birahi. 
Karena penonton bioskop cukup sepi, aku akhirnya memberanikan diri untuk berlutut di depan kaki Intan yang mengangkang. Aku menjilati memek dan kelentitnya, sementara jari tengah dan telunjuk tangan kananku dengan nakal kumasukkan ke dalam liang vaginanya yang telah basah penuh lendir. Kuraba seluruh dinding vaginanya dengan penuh perasaan. Kucoba menemukan G-spot di dalamnya.  Setelah kutemukan dinding yang permukaannya agak kasar di dalam vaginanya, kukorek-korek dinding tersebut dengan memberikan sedikit tekanan.  Pinggul Intan bergoyang semakin liar menyambut kocokan jemariku tepat di area G-spot-nya.  Intan mengerang mendesah:“Oh...  Yah... Di situ Sayang...  Enak Sayang...  Terus Sayang... Ah... Kamu memang cerdas Sayang...  Kamu telah menemukan G-spotku...  Bahkan Satria dan Ruri pun belum pernah menemukannya...  Genta Sayangku... Telah lama aku mendambakan saat seperti ini bersamamu... Oh...  Sayangku... Ah...Ah... Ouh... Ouh... Genta...”Semakin kupercepat kocokan jemariku di dalam liang memek Intan mengikuti semakin liarnya goyangan pinggulnya, sementara tangan kiriku mengocok kontolku sendiri.  Akhirnya Intan mencapai orgasme.“Oooh... Genta Sayang.... Genta Sayangku...  Cukup... Cukup... Cukup Sayang... Ah... Ah... Aku sudah sampai... Ouh... Ouh... Oooh... Uoooh... Oh...”, Intan mendesah dan memekik pelan dengan nafas tersengal-sengal.  Dadanya naik-turun tak beraturan.  Wajahnya memerah.Kurasakan denyutan memeknya. Sungguh sangat keras dan terasa meremas-remas jemariku.  Cukup lama dinding vagina Intan berdenyut-denyut. Betapa menunjukkan bahwa telah lama Intan tidak pernah merasakan kenikmatan birahi yang sesungguhnya dari Satria, suaminya.  Aku semakin bergairah melihat betapa sensualnya wajah Intan yang penuh peluh dan memerah, memancarkan ekspresi kepuasan birahi yang tiada tara.
Intan serta merta sedikit membungkukkan badannya, menggapai kontolku yang semakin tegang dan terbungkus kondom dengan tangan kanannya.  Intan membalas kenikmatan yang baru saja diperolehnya dengan mengocok penisku.  Sementara lidahku masih keasyikan menjilati memek Intan yang telah lemas dan memerah, dan sesekali dengan liar menjilat puting ataupun mengadu lidahku dengan lidah Intan.
Akhirnya, Intan memintaku untuk berganti posisi.  Aku duduk di kursi bioskop, sementara Intan berlutut di depanku.  Dikocoknya batang penisku dengan kedua tangannya dan lidahnya sesekali menjilati dan menyedot kantung zakarku.  Tanganku pun dengan bebas meremas-remas kedua buah payudaranya yang mengacung tegak.Akhirnya, aku tak bertahan lama.  Kuraih wajah Intan. Kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Tangan kananku mencoba meraih liang memeknya yang masih licin menyisakan lendir kenikmatan. Intan menangkap isyaratku. Semakin dipercepat dan diperkeras kocokan tangannya. Wajahnya sengaja menengadah menatapku.  Sangat seksi dan menggairahkan. Lidahnya yang dijulurkan menjilati kepala penisku benar-benar memacu gairahku untuk segera mencapai puncak. Akhirnya aku tak tahan, memuncratkan spermaku di dalam kantung kondom.
“Intan...  Oh...  Intan Sayang... Oh... Aku... Keluar... Sayang... Aaah... Aaah...”Kami kembali berpelukan dan berciuman dengan nafas yang masih belum teratur.  Tersengal-sengal, penuh peluh dan lendir asmara.Kondom aku lepaskan, aku ikat ujungnya agar isinya tidak bertebaran kemana-mana, dan kubuang ke kolong tempat duduk bioskop.  Lalu kami membenahi pakaian kami yang lusuh berantakan dan kembali duduk berdampingan.“Sayang, aku tidak tahu apakah yang baru saja aku rasakan tadi adalah manisnya gula ataukah asinnya garam, karena gelap...”, kataku sambil tersenyum dan mencium keningnya.Intan mencubitku dengan gemas, meraih kepalaku, mencium dan melumat bibirku.“Semoga hubungan asmara gelap kita ini abadi, Sayang...”, bisik Intan di telingaku.Kami kembali berpelukan dan bibir kami saling berpagutan hingga film pun berakhir.  Kami keluar dari dalam gedung bioskop dengan kepuasan jiwa.  Belum pernah kami rasakan kenikmatan asmara seperti tadi sebelumnya.  Tak ada rasa penyesalan sedikit pun bahwa kami baru saja mengkhianati pasangan kami masing-masing.  Keluar dari mall menuju jalan raya, kami terus bergandengan tangan dengan erat.  Seolah-olah tak mau berpisah.  Tak peduli jika ada orang yang memergoki perselingkuhan kami.Setelah kukecup keningnya, aku mengantarkan Intan menuju halte angkot yang membawa ke rumahnya. Saat itu, Intan masih menempati rumahnya sendiri. Rumah yang dibangunkan oleh suaminya untuknya, yang kebetulan berlokasi di kota lain yang berbatasan dengan kota tempat kami bekerja.  Tak puas-puasnya aku memandangnya, hingga angkot yang membawanya pergi tak terlihat lagi.  
***Suatu hari, di saat suami Intan telah berada di luar negeri untuk melanjutkan studi, aku yang di hari itu tidak berangkat bekerja mendapatkan pesan dari Intan lewat email.  Untung saja, aku menyempatkan diri untuk main ke warnet dekat rumahku, setelah Saras, istriku berangkat bekerja:“Say, mengapa tidak masuk kantor hari ini?  Kamu pasti cek-cok lagi dengan Saras ya? Bisa tidak kamu datang ke rumahku sore ini?  Lampu dapur rumahku mati.  Tidak ada yang bisa menjangkau fitting yang terlalu tinggi itu, selain kamu. Di rumah hanya ada anak-anakku, pembantuku, dan ibu mertua-ku. Aku khawatir, jika gelap, kamu tidak bisa membedakan antara manisnya gula dan asinnya garam seperti kejadian dua minggu yang lalu di bioskop. Aku nantikan dirimu di dalam kamar belakang setelah kamu berhasil masuk dan meyakinkan ibu mertua-ku, bahwa kamu hanyalah rekan kerjaku yang suka menolong.  PKM (Peluk, Kasih Mesraku).... Dari kekasih gelapmu... Intan”Semangatku yang tadinya surut pada hari itu, karena betul dugaan Intan bahwa semalaman aku bertengkar lagi dengan Saras, tiba-tiba menjadi berkobar kembali, disengat api asmara Intan yang membara. Sejak kejadian di bioskop, sudah hampir dua minggu ini aku dan Intan belum pernah bermesraan lagi, karena Intan sedang datang bulan. Dan selama ini, aku dan Intan hanya melampiaskan nafsu birahi kami melalui petting. Semakin liar imajinasiku, membayangkan penisku yang akan benar-benar memasuki liang memek Intan yang nikmat itu.
Dari cerita Intan, suaminya selama ini jarang memasukkan penisnya, karena baru beberapa detik biasanya sudah ejakulasi. Sehingga suami Intan berusaha memuaskan Intan menggunakan vibrator dan kocokan jemari tangannya.  Tak heran jika memek Intan masih relatif sempit untuk ukuran seorang ibu yang telah beranak dua.Aku bergegas mandi, menggosok gigiku agar terlihat putih bersih dan bahkan keramas. Tak ada satu bagian tubuhku yang terlewati, agar aku berpenampilan prima di hadapan kekasihku.  Bahkan penisku pun kugosok dengan sabun berkali-kali, agar bersih dan wangi.  Aku sengaja mengenakan setelan celana dan kemeja kasual yang memperlihatkan kemacoanku.  Kancing baju atas sengaja kubiarkan terbuka memamerkan betapa bidangnya dadaku. Tak lupa aku menyemprotkan parfum favoritku “Spalding” hampir ke seluruh badanku.  Bahkan kusemprotkan di sekitar penisku.  Intan sangat menyukai bau parfumku ini.  Bahkan Intan bercerita jika dia sengaja membeli parfum favoritku.  Di saat merasa kesepian, Intan bermasturbasi. Untuk membantunya menghadirkan bayanganku, Intan menyemprotkan parfum favoritku ke sekitarnya dan menghirup aromanya dalam-dalam.Aku sengaja tidak berpamitan ke Saras karena dia masih merajuk akibat cek-cok semalam.  Masalah basi yang tak pernah mendapatkan solusi selama ini. Saras menginterogasiku habis-habisan karena kecurigaannya yang berlebihan.  Meskipun, nyatanya kini aku telah berani menyelingkuhinya, namun semalam aku benar-benar pulang terlambat karena bertugas di sebuah poliklinik 24 jam.Aku hanya berpamitan kepada kedua anakku tercinta.  Mengatakan kepada mereka bahwa aku akan bertugas piket di salah satu poliklinik 24 jam.  Kali ini aku membohongi keluargaku.   Namun, apa bedanya antara berbohong dengan jujur, jika berkata jujur saja toh masih terus dicurigai?
Mengendarai motor trilku, aku menuju rumah kontrakan Intan yang terletak sekitar 20 km dari rumahku.Semenjak ditinggal suaminya ke luar negeri, Intan sengaja mengontrak rumah di kota pegunungan tempat kami bekerja, meninggalkan rumah yang telah dibangun suaminya di kota lain yang berbatasan. Alasan Intan kepada suaminya, karena kemacetan jalan yang menghubungkan kedua kota ini semakin parah; dan kini tidak ada lagi teman berangkat bekerja.  Aku mengetahui bahwa semua itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Intan, karena sebenarnya Intan hanya ingin mendekatiku.Rumah kontrakan Intan terletak di ujung perkampungan, jauh dari jalan aspal utama dan jalan desa.  Rumah kontrakannya cukup terisolasi, berbatasan dengan kebun singkong yang rimbun dan perkebunan karet.  Jarak rumah tetangga terdekatnya pun relatif jauh, sekitar 300 meteran.  Rumah kontrakan ini memiliki pintu depan yang langsung menuju ruang tamu dan pintu belakang yang langsung menuju kamar tidur paling belakang.  Di bagian depan, bersebelahan dengan ruang tamu ada dua kamar tidur lagi, yang terdepan biasanya digunakan oleh ibu mertua dan kedua anak laki-laki Intan yang masih kecil, sedangkan yang satunya lagi digunakan oleh pembantu rumah tangganya. Kamar belakang yang ukurannya paling luas digunakan oleh Intan, bersebelahan langsung dengan dapur.  Letak dapur sendiri bersebelahan dengan dua kamar mandi.  Antara bagian belakang dengan bagian depan, dipisahkan oleh dua pintu. Aku mengetahui persis tata ruang rumah kontrakan Intan, karena aku turut menemai Intan mencari rumah kontrakan ini dan aku pun membantunya saat berpindah rumah.Sesampai di rumah Intan, aku memarkirkan motorku di halaman depan rumahnya yang cukup luas, tepat di bawah pohon rambutan.
Saat itu waktu telah menjelang maghrib.“Assalamu’alaikum”, sapaku.“Walaikumsalam...  Eh... Pak Genta... Silahkan masuk Pak... In...  Intan... Ini lho, Pak Genta sudah datang”, Ibu Mertua Intan - yang memang telah mengenalku karena aku sering mengantarkan Intan pulang naik motor selepas kerja – menyambutku dengan ramah.  Karena aku menempatkan diri sebagai rekan kerja dari istri anaknya, dan selalu menjaga sikap sopan-santun, Ibu Mertua Intan tak menaruh rasa curiga sama sekali. Di hadapannya, aku hanyalah seorang rekan kerja Intan yang baik hati dan suka menolong. Kedua anak laki-laki Intan pun telah akrab denganku.  Bahkan si bungsu yang masih berusia dua tahun, selalu memanggilku: “Papa Genta”.  Di usia seperti ini, anak-anak tersebut memang masih membutuhkan kehadiran seorang bapak.  Ibu Mertua Intan sama sekali tidak mencurigai bagaimana cucu-cucunya menyambut dan memperlakukanku, karena sekali lagi, aku menempatkan diri sebagai sesosok pria yang sopan dan santun.Segera setelah Ibu Mertua Intan memangggil Intan, Intan dan kedua anaknya pun keluar.  Ekspresi wajah Intan berpura-pura biasa saja, bahkan menampilkan ekspresi yang cenderung dingin, malas-malasan dan ‘sok acuh’ kepadaku.   Dalam hati, aku memaklumi sikapnya.  Semua ini pasti dilakukan Intan agar ibu mertua beserta pembantunya tidak menaruh rasa curiga kepadaku.  Namun, aku masih bisa menangkap sinar mata Intan yang berbinar kegirangan karena kedatanganku.  Kuraih si bungsu yang langsung lekat dalam gendonganku.  Setelah berbasa-basi, aku akhirnya minta ijin menuju dapur untuk memasangkan lampu.Adzan maghrib pun tiba. Untuk semakin membangun kepercayaan kepada Ibu Mertua Intan, aku pun ijin untuk menumpang sholat.  Seusai sholat, Ibu Mertua Intan bahkan menawariku untuk makan malam bersama.  Perbincangan dengan topik tak tentu arah selama acara makan malam membuat waktu tak terasa berjalan hingga jam menunjukkan pukul 20.30.  Kulihat anak-anak Intan telah terlelap di kamar paling depan.  Begitu juga pembantu rumah tangganya telah memasuki kamarnya sejak tadi.  Ibu Mertua Intan telah menguap berkali-kali.  Intan pun berpura-pura menguap.
Aku menangkap isyaratnya.  Aku segera berpamitan untuk pulang.  Aku diantar oleh Intan dan Ibu Mertuanya hingga ke halaman rumah.  Akhirnya aku memacu motor trilku, meninggalkan rumah kontrakan Intan.  Sesampai di mulut jalan kampung, di persimpangan yang menghubungkan jalan kampung dengan jalan aspal utama, aku mampir di sebuah warung Indomie.  Memesan kopi dan menghabiskan beberapa batang rokok.Aku sengaja menunggu waktu di situ. Setelah arlojiku menunjukkan waktu hampir sekitar pukul 21.30, aku membayar pemilik warung Indomie itu sembari berkata:“Pak, punteun, saya sekalian menitip parkir motor saya di sini, karena saya akan mampir dulu ke rumah teman saya yang terletak di gang sebelah yang sempit itu.  Susah memarkirkan motor di sana, Pak.  Saya tambahkan Rp 10 ribu untuk parkir ya Pak. Hatur nuhun.”  Bapak pemilik warung Indomie itu pun mengangguk dan tersenyum senang karena mendapat tambahan uang.Lalu aku berjalan kaki,  menyusuri kembali jalan menuju rumah kontrakan Intan.  Sesampai di halaman rumahnya, suasana rumah telah senyap. Hanya terdengar dengkuran keras  Ibu Mertua Intan.  Aku berjalan mengendap-endap melewati kebun singkong yang rimbun, mendekati pintu belakang.  Aku berbisik pelan di celah pintu: “In... Aku kembali Sayang...”.Segera setelah itu, pintu dibuka perlahan oleh Intan.  Dia tersenyum.  Mengedipkan sebelah matanya. Rupanya, Intan telah mempersiapkan diri.  Dia telah berganti pakaian, mengenakan gaun malam seksi terusan berwarna biru beludru. Rambutnya sengaja diikat, memperlihatkan tengkuknya yang kuning langsat.  Penampilannya itu semakin terlihat nakal menggoda. Tercium aroma parfum favoritnya “Tommy Boy” yang sungguh menggugah birahi.  Perlahan aku masuk ke dalam kamarnya sembari mengedipkan sebelah mata dan mencoba mendaratkan kecupanku di tengkuknya.  Pintu segera ditutup kembali perlahan dan kemudian dikunci.  Demi keamanan, selain pintu yang menghubungkan kamar belakang dengan dapur, Intan juga telah mengunci dua buah pintu yang menghubungkan ruang depan dengan ruang belakang.  Dan kami berdua pun kini benar-benar berada dalam ruang isolasi yang ‘aman’ dan ‘bebas gangguan’.Aku dan Intan tak tahan lagi menahan kerinduan.Kami saling berpelukan erat dan saling meraba dengan liar, sementara lidah kami saling menjulur berpagutan, saling menghisap penuh birahi.  Kusingkapkan gaun malam yang dikenakan Intan dengan tak sabar.  Kulepaskan gaun malam tersebut dari tubuhnya yang sintal dan telah terasa panas membara akibat gelora gairah birahinya yang telah ditahannya selama dua minggu ini. Kulemparkan gaun malamnya ke lantai kamar. Malam itu, Intan mengenakan celana dalam dan BH berwarna merah maron. Kupelorotkan celana dalamnya, dan kuturunkan tali BH-nya.  Intan pun dengan nafas memburu mencoba melepaskan kancing kemeja, celana panjang, berikut celana dalamku. Penisku yang telah tersugesti oleh imajinasiku sendiri karena membayangkan momen menggairahkan ini sejak kedatanganku tadi sore dengan mudah telah ereksi, tegak mengacung dengan gagahnya, pertanda siap untuk bertempur.
Rindu bercampur gelora nafsu, Intan segera bersimpuh di hadapanku, berlutut, merengkuh penisku dengan kedua tangannya, menjilatinya, menghisap kepala penis, bahkan mencoba memompa batang kontolku ke dalam mulutnya yang mungil dengan rakus, bagaikan anak kecil yang telah lama menginginkan es krim.  Hampir penuh mulutnya oleh kontolku yang berukuran relatif besar.  Suara mulut Intan yang tengah menyedot kontolku menambah gairah. Slurp.... Slurp.. Slurp...
“Sshhh... Enak sayang... Oh...  Aku rindu kamu, Intanku Sayang,” rintihku setengah berbisik, merasakan kenikmatan luar biasa.Intan semakin liar, dijilatinya buah zakarku. Dihisap-hisapnya kedua bakso kontolku itu. Sementara itu tangan kanannya terus mengocok batang kontolku dengan agak kasar dan genggaman yang sangat erat akibat nafsu yang membara.  Rupanya Intan telah dua minggu ini sangat menahan hasratnya yang menggebu-gebu kepadaku.  Kontolku pun akhirnya basah kuyup,  dipenuhi air liur cinta Intan.Tanganku berusaha menjangkau kedua tetek Intan. Meremas-remasnya dengan lembut.  Akhirnya aku tidak tahan lagi untuk berganti mencumbunya.
Kuraih tubuh Intan. Kugendong menuju ranjang.  Kurebahkan tubuh Intan dalam posisi terlentang.  Kuhisap lagi bibirnya yang mungil penuh gairah dan kutelusuri seluruh rongga mulutnya yang wangi itu dengan lidahku.  Lama lidahku beradu dengan lidah Intan, saling menghisap, menjilat dan berpagutan.  Kedua tanganku yang bebas berkeliaran, mencoba meremas lembut buah dadanya dan sesekali mengelus lembut wilayah sekitar bibir vagina dan klitorisnya.  Kurasakan memek Intan semakin lembab oleh lendir asmara.Kuturunkan kepalaku. Kuhisap dan kujilati kedua puting dan ambing susu Intan, kanan dan kiri, bergantian.  Tak peduli jika kecupan-kecupan penuh birahiku di sekitar buah dadanya meninggalkan tanda merah.  Sesekali aku pun menjilat kedua ketiaknya yang tercukur mulus.  Asam agak pahit rasanya, namun justru aroma dan rasanya sangat menambah gairah birahiku.  Intan kegelian bercampur nikmat, menggelinjang.  Akhirnya, kepalaku menyusup di antara kedua kaki Intan.  Kukecupi pinggul dan bokongnya. Lalu kujilati dan kuhisap bibir vagina dan klitorisnya.“Ssshhh... Genta Sayang... Enak Sayang... Lama sekali kita tidak melakukannya...  Aku bahagia Sayang...  Gentaku Sayang...,” Intan meracau setengah berbisik.  Wajahnya dilemparkan ke kanan dan ke kiri dengan irama yang acak.  Sebuah aksentuasi gerakan yang sangat erotik. Matanya merem-melek.  Sementara kedua tangannya mencengkeram erat kepalaku, meremas-remas rambutku. Sebuah kenikmatan yang pastinya sangat membuai nafsu birahinya di malam itu.Kupermainkan lidahku di sekitar liang vaginanya. Jari telunjuk tangan kananku kumasukkan sedikit di sekitar pintu masuk liang vaginanya. Tak terlalu dalam. Kupermainkan pintu masuk itu dengan gerakan memutar yang arahnya acak, terkadang searah jarum jam, terkadang berlawanan arah dengan jarum jam. Lalu aku korek-korek bagian atas pintu masuk liang memek Intan. Sementara lidahku aku pindahkan untuk menjilati pingggiran bibir vaginanya. Kusedot dan kutelan segala cairan yang keluar dari liang memeknya.  Terasa asin namun justru menambah gairah birahiku. Tangan kiriku terkadang aku manfa’atkan untuk mengelus-elus klitorisnya, meremas bokongnya, atau mencoba meraih salah satu tetek atau putingnya.  Liang kenikmatan Intan semakin basah, baik oleh lendir bartolini yang dikeluarkannya maupun oleh air liurku. Bibir dan liang vaginanya pun terlihat semakin memerah.  Aku juga tak segan-segan menjilati liang anusnya dan sesekali memasukkan ujung lidahku sedikit ke dalamnya.  Terasa agak pahit namun justru menambah batang kontolku semakin ngaceng dan mengeras.“Genta Sayang... Kentot aku sekarang Sayangku...  Aku sudah tak sabar ingin merasakan genjotan kontolmu yang besar dan perkasa di dalam memekku yang telah basah dan gatal ini...”, Intan menghiba.Intan telah menyiapkan kondom ‘rasa strawberi’ di ranjang. Intan dengan cepat bangkit dari posisi tidurnya. Dibukanya kondom itu dan disarungkannya menyelimuti seluruh batang penisku dengan tak sabar.  Intan kembali mengulum kontolku sejenak ke dalam mulutnya untuk membantu melicinkan penetrasi. Kemudian Intan kembali merebahkan tubuhnya dan mengangkangkan kedua kakinya, memberikan jalan untuk senjataku.
“Gentaku Sayang... Aku ingin merasakan kontolmu Sayang...  Dan kamu tahu bahwa aku belum pernah merasakan genjotan kontol sebesar ini...  Baik dari Ruri kekasihku... Apalagi dari Satria suamiku yang loyo itu...”, Intan menghiba penuh nafsu membara.Aku pun segera berlutut di hadapan memek Intan, mengangkat kedua kaki Intan dan meletakkannya ke pundakku.  Kuarahkan meriamku yang telah ereksi penuh itu ke liang memek Intan.  Kucoba memutar-mutarkan kepala penisku yang besar dan memerah di sekitar pintu masuk liang memek Intan dengan gerakan seperti orang sedang mengebor.  Aku tak tega karena ukuran lubang memeknya benar-benar masih relatif rapat, hampir tak sanggup menampung kontolku yang besar. Gerakan ini justru sangat menggoda birahi Intan.  Intan mencoba melihat ke bawah, seperti tak sabar menantikan liang asmaranya kumasuki dengan batang kontolku.  Kutekan pelan-pelan batang kontolku yang panjang dan besar ke dalam liang vagina Intan.  Kulihat Intan menggigit bibir bawahnya.  Kugoyangkan pinggulku, agar penetrasi kontolku berjalan lembut dan tidak menyakiti Intan.  Akhirnya, tak terasa seluruh batang kontolku pun amblas tertanam di dalam lubang memek Intan yang hangat dan telah licin oleh lendir asmaranya.“Aaaah,,,  Ssshhh...  Oh... Kontolmu benar-benar besar Genta Sayang... Memekku kini telah penuh oleh kontolmu yang besar... Tak ada tempat lagi untuk kontol laki-laki lain...  Pantas istrimu Saras sangat posesif kepadamu... Uh...  Baru kali ini aku merasakan memekku dimasuki oleh kontol berukuran sangat besar seperti punyamu ini... Teruskan Sayang.... Buat aku orgasme yang nikmat yang belum pernah kurasakan dari suamiku maupun Ruri... Ayo Genta Sayangku...  Aku telah pasrah menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu... Kentot aku yang keras dengan kontol besarmu...”, Intan mengerang, merintih dan meracau penuh kenikmatan.  Gerakan kepalanya semakin liar blingsatan. Matanya merem-melek.Mulai kulakukan gerakan maju-mundur, keluar-masuk.  Liang memek Intan semakin melentur menerima hantaman batang kontolku yang telah menancap kuat di dalamnya.  Jalan penetrasiku pun semakin licin dan lancar.  Semakin kupercepat gerakan mengebor dari kontolku di dalam liang memek Intan.  Intan pun mulai bereaksi menggoyangkan pinggulnya, menyesuaikan harmoni dengan irama kocokan kontolku.  Suara batang kontolku yang sedang mengocok isi liang memek Intan menambah gairah. Plok... plok... plok... plok... Sungguh nikmat tak terkatakan liang memek Intan.  Berbeda dengan memek istriku, Saras, yang telah mulai terasa longgar dan hambar.  Apalagi ditambah, aku semakin tidak mencintai istriku, karena sifatnya yang membuatku bertambah antipati dan benci kepadanya.“Intan sayang... Ah... Memekmu sungguh hangat dan enak Sayang... Beda jauh dari memek Saras yang telah longgar...  Aku semakin mencintaimu Intanku Sayang... Ah...”, desahku.Goyangan pinggul Intan semakin liar.  Terkadang diangkatnya tinggi-tinggi pinggulnya, agar seluruh batang kontolku amblas, sehingga ujungnya mampu menjangkau liang memeknya yang paling dalam.  Gerakan pinggulnya pun semakin lama semakin cepat.  Terkadang memutar.  Hingga tiba-tiba, Intan meraih kepalaku, memasukkan lidahnya ke dalam rongga mulutku.  Menghisap lidahku.  Cengkeraman tangannya semakin kuat.“Oh... Genta... Kontol besarmu Sayang... Genta... Kontolmu... Besar...  Enak Sayang...  Aku mencintamu... Ah... Perkuat lagi kocokan kontolmu yang besar itu Sayang... Tunjukkan bahwa kamu memang benar-benar lelaki sejati yang jauh lebih baik daripada suamiku yang loyo itu ataupun dari Ruri... Ayo Sayang... Percepat kocokan kontolmu Sayang.... Ah... Ouh... Ouh... Ouh.. Aaaah....”, Intan  meracau dengan kata-kata yang semakin tak terkendali.  Matanya terpejam.  Kulihat sedikit linangan air mata bahagia meleleh dari balik matanya.Hingga akhirnya, Intan kembali mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi, mecoba memasukkan seluruh batang kontolku hingga mentok menggapai bagian terdalam dari liang memeknya. Memelukku erat-erat. Dan menjerit perlahan:“Genta Sayang.... Aah... Aku sudah sampai Sayang... Ah... Ouh... Aku telah sampai Sayangku... Ooooh....  Ouuh.... Ouh... Oh... Oh... Ouh... Genta... Ouh... Genta...”Nafas Intan tersengal-sengal.  Wajah dan dadanya terlihat memerah.  Kembali lidahnya dimasukkan ke dalam rongga mulutku, menciumku penuh birahi.  Kurasakan dinding memeknya berdenyut-denyut.  Sangat kuat dan lama.  Meremas-remas batang kontolku dengan tekanan yang sangat kuat.  Hingga akhirnya Intan terkulai lemas.Kukeluarkan perlahan kontolku.Intan pun segera bangkit dan merengkuh kontolku dengan mulutnya.  Dilepasnya kondom yang terpasang.    Kemudian Intan mengulum, menjilati, dan mengocok kontolku. Intan menengadah kepadaku:“Keluarkan spermamu ke dalam mulutku.  Aku akan menelan seluruh sperma yang akan kau keluarkan Sayang, sebagai pertanda cintaku padamu...”, Intan berkata sambil melemparkan senyum nakal kepadaku.Kembali Intan mengoral kontolku sambil mengocok dengan tangannya.  Semakin lama gerakan kocokan tangannya semakin cepat, hingga akhirnya aku tidak tahan lagi dan memuncratkan spermaku, mengotori isi mulut dan wajah Intan.
Intan semakin terlihat erotik dengan wajah penuh lendir asmaraku.  Dijilatnya lelehan sperma di sekitar mulutnya dan diperlihatkannya kepadaku bahwa dia mau menelannya dengan ikhlas.  Intan pun kembali tersenyum nakal menggoda.
Kukecup keningnya. Kubisikkan di telinganya bahwa aku mencintainya.
Akhirnya, kami pun beranjak dari pergumulan asmara kami berdua, membersihkan diri di kamar mandi dari peluh dan lendir asmara yang lengket di tubuh kami.
Setelah kembali berpakaian rapi, aku kembali memeluk Intan erat-erat, seolah-olah enggan beranjak pergi meninggalkannya malam itu.  Namun energi cinta kami yang membara ini harus kami hemat agar langgeng. Aku pamit kepadanya dengan sebuah ciuman penuh kasih.
Kutelusuri jalanan kampung yang telah gelap gulita itu, menuju warung Indomie tempat motorku diparkir.***Hari itu, seperti biasa aku dan Intan bertugas ke lapangan untuk mengawasi kegiatan Posyandu di beberapa desa yang menjadi wilayah kewenangan Puskesmas tempat kami bekerja.  Cukup banyak masyarakat yang harus kami layani di setiap Posyandu yang harus kami datangi, hingga kami akhirnya kembali ke Puskesmas saat waktu telah sore, di saat pegawai yang lainnya telah pulang ke rumah.  Pak Tatang, penjaga Puskesmas yang masih berada di kantor untuk menunggu kami, dengan terburu-buru  menyongsong kedatangan kami:“Punteun Pak Genta dan Bu Intan, hari ini isteri saya sakit keras.  Tadi pagi telah saya periksakan ke Dokter Puskesmas, namun memang karena kondisinya yang cukup serius, dia harus dirujuk ke rumah sakit.  Siang tadi isteri saya telah dikirim ke rumah sakit di pusat kota.  Saya harus menyusul isteri saya sekarang juga ke rumah sakit untuk melihat kondisinya. Besok pun saya terpaksa harus ijin untuk tidak masuk kerja.  Jadi, punteun, saya merepotkan Pak Genta dan Bu Intan.  Saya menitipkan kunci Puskesmas ini!”“Turut prihatin, Pak Tatang.  Semoga Bu Tatang segera pulih.  Baiklah, kunci akan saya pegang, Pak.  Mohon ma’af karena kami tidak bisa menemani ke rumah sakit, karena kami telah kelelahan setelah sepanjang hari ini berkunjung ke desa-desa.”, kutepuk perlahan pundak Pak Tatang untuk menenangkannya.
Setelah Pak Tatang pergi, aku dan Intan segera masuk ke dalam kantor.  Pintu-pintu, jendela dan tirai yang masih terbuka segera aku tutup dan aku kunci.  Setelah selesai aku bergegas menuju ruang belakang.
Kulihat Intan sedang sibuk menyimpan sisa-sisa ampul vaksin dan obat-obatan lainnya dari kegiatan Posyandu seharian tadi, memindahkannya dari termos ke dalam cold storage ukuran besar.  Saat semua ampul vaksin dan obat-obatan lainnya telah tersimpan ke dalam cold storage, Intan menutup dan menguncinya. Kemudian Intan mengisikan data ke log book, berapa banyak vaksin dan  obat-obatan lainnya yang dipergunakan untuk kegiatan Posyandu pada hari itu.  Setelah beres, Intan membalikkan badannya:“Uh. Beres sudah akhirnya. Sungguh hari yang melelahkan.  Panas terik dan banyak pasien yang tadi harus kita layani.  Sebelum kita pulang, tunggu sebentar, aku mau pipis dulu.  Sudah dari tadi aku menahan.  Jangan tinggalkan aku ya Say”, katanya  sambil membuang senyum menggoda dan bergegas berjalan menuju kamar mandi Puskesmas.Aku mengangguk, membalas senyumnya, mengerjapkan mata, dan diam-diam mengikutinya menuju kamar mandi.  Pintu kamar mandi dibiarkannya tidak terkunci.  Aku dorong dan sengaja membuka lebar pintu kamar mandi.  Aku berdiri di pintu yang terbuka lebar tersebut sambil melipatkan kedua tanganku, menonton Intan yang sedang pipis, dengan mata sengaja kubuat setengah melotot.“Iih. Nakal.  Orang pipis kok ditonton.” kata Intan sambil mencipratkan sedikit air ke arahku.  Cipratan itu mengenai wajahku, yang malahan menyejukkanku di hari yang sangat panas itu.Hari itu Intan mengenakan celana dalam berwarna ungu.  Aku sengaja menunjukkan padanya gerakan jakunku yang menelan air liur berkali-kali, dan menyapukan ujung lidahku melingkari bibir mulutku.
Kataku kepadanya sambil menyeringai:
“Bukannya tadi aku disuruh menunggu?  Aku hanya mengemban amanat saja kok!  Lha ini, aku tungguin kamu yang sedang pipis.”.Intan kembali mencipratkan sedikit air ke arahku.  Membasahi sedikit baju seragamku dan mengenai mukaku.Selesai pipis, Intan cebok membersihkan memeknya.  Tatapanku semakin kubuat liar. Menyaksikannya mengelus-elus memeknya sendiri. Melihatku masih bandel bertahan berdiri di depan pintu kamar mandi, selesai cebok, Intan malah sengaja bangkit berdiri, mengangkat kakinya satu per satu, melepaskan celana dalamnya dengan gerakan yang dibuat erotik. Sambil matanya terus menatapku, bibir bawahnya digigitnya sembari melemparkan senyum yang nakal dan menggoda.Celana dalam warna ungu yang telah terlepas itu kemudian dilemparkannnya ke arahku.  Tepat mengenai mukaku.  Aku tangkap dengan sigap, bagaikan seorang keeper yang lihai menangkap bola.  Aku remas-remas dengan kedua tanganku, kudekatkan ke  lubang hidungku, lalu kuhirup dan kucium dalam-dalam celana dalam yang beraroma khas cairan memek itu.  Sungguh sangat merangsangku. Membuat kontolku mulai membesar.  Mataku tetap menatap tajam Intan yang masih berdiri di atas toilet jongkok kamar mandi Puskesmas.
Menyaksikan aksiku, Intan pun membalasnya. Dengan sengaja, Intan mengangkat rok seragam kantornya ke atas, membalikkan posisi badannya ke arah pintu tempatku berdiri saat itu, menekuk kedua kakinya seperti seorang jawara yang tengah memasang posisi kuda-kuda, menyorongkan pinggulnya ke depan seperti pesenam yang tengah melakukan gerakan kayang, dan menekuk siku tangan kirinya  ke pinggiran bak mandi untuk menyangga berat badannya yang meliuk ke belakang. Memek Intan yang berjembut tipis tercukur rapi itu pun kini menyembul terlihat jelas dari posisiku berdiri.  Tetap menatapku dengan tajam, dan dengan bibir bawah yang sengaja digigitnya seolah-olah sedang menahan nafsu, Intan mulai mengusap-usap bibir memek dan klitorisnya sendiri dengan jemari tangan kanannya dan terkadang sengaja merentangkan kedua belahan bibir memeknya dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, sehingga lubang memeknya yang merah terlihat menganga.Aku semakin tidak kuasa melihat sajian adegan erotik live di depan mataku itu.
Kulemparkan celana dalam Intan ke sofa di ruang belakang Puskesmas yang terletak dekat kamar mandi.  Aku buka sendiri sabuk dan retsleting celanaku. Kusembulkan kontolku yang sudah mulai menegang, mengacung keluar. Sambil berdiri mengangkang seperti posisi laki-laki sedang kencing, aku usap perlahan kontolku dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memegang kusen pintu kamar mandi.  Aku balas tatapan mata Intan dengan tajam, sambil setengah berbisik aku berkata perlahan:“Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku sore ini, Intan Sayangku?”Intan yang masih beraksi dengan adegan erotiknya itu membalas:“Aku menginginkan kontolmu yang besar, panjang dan telah tegap berdiri itu untuk memuaskan memekku yang telah basah berlendir dan panas ini, saat ini juga, Sayangku.  Kentotlah aku saat ini juga.  Buat aku orgasme di tempat kita berkarya dan memadu kasih ini.  Buktikan kepada Puskesmas ini bahwa lendir asmara kita pernah menyatu dan mengotori tempat ini.”Mendengar permintaan Intan yang penuh nafsu birahi itu, aku semakin tidak tahan.  Dengan langkah memburu, kusongsong tubuh Intan yang masih bersandar di bak kamar mandi.  Kusambar tubuhnya dari tepi bak.  Aku gendong tubuh Intan yang meggelayutkan tangannya ke leherku, melangkah keluar dari kamar mandi, menuju ke sofa ruang belakang Puskesmas. Kulumat bibirnya yang setengah terbuka bertubi-tubi.Kurebahkan tubuh Intan di sofa.  Dengan liar kulepaskan kancing bajunya, menampilkan dadanya yang masih terbungkus BH berwarna ungu, naik-turun dengan nafas yang memburu, menahan nafsu birahi di hari yang panas terik itu.  Kulepaskan baju seragam dan roknya, kulemparkan ke lantai.  Kusapu isi mulutnya dengan lidahku. Lidah kami saling menjilat dan menghisap.  Kujilati telinganya dan kubisikkan kepadanya bahwa aku ingin memuaskannya sebanyak yang dia harapkan pada sore itu.Kutarik Intan dari posisinya yang terlentang, kududukkan tersandar di sofa, kuangkat dan kutekuk kedua kakinya ke atas sofa, lalu kukangkangkan sehingga memeknya yang telah sedikit basah oleh lendir dan keringat itu terbuka menganga.  Menantangku untuk memasukinya.Aku berlutut di lantai, dengan rakus kusapu memek Intan dengan lidahku.  Jembut tipisnya kujilati dan kuhisap.  Kutelan bulir-bulir peluh di sekitar jembut dan selangkangannya, bagaikan seorang pendaki gunung yang kehausan menghisap air dari lumut pohon hutan.  Kupermainkan bibir vaginanya dengan sapuan lidahku dengan gerakan vertikal, membelah kedua bibir vaginanya itu dan menyibak goa asmaranya.
Dengan bibirku, aku melumat bibir vagina Intan bagaikan melumat bibir mulutnya.  Kuciumi dan kuhisap. Kubuat cupang-cupang merah di sekitar selangkangan, pinggul dan bokongnya.  Kumasukkan lidahku ke dalam liang asmaranya, bagaikan belut yang mencoba melarikan diri dari musuhnya.  Kurasakan lendir cairan kenikmatan dari dalam liang memek Intan.  Kuhisap dan kutelan.  Asin dengan aroma yang semakin membuat batang kontolku mengacung tegak.
Ujung lidahku terkadang kupermainkan untuk menyentil kelentit Intan yang semakin menyembul karena terangsang.  Kedua tanganku tak henti-hentinya meremas-remas pantat Intan yang padat dan sintal.
Tak puas menikmati memeknya, lidahku pun aku gunakan untuk menyapu bersih lubang anusnya yang berwarna coklat kemerahan. Merekah dan beraroma khas.  Sesekali kutusukkan ujung lidahku ke dalam lubang anusnya.  Tak dalam.  Kurasakan getirnya lubang anus Intan.  Aromanya sungguh semakin membuat batang kontolku mengeras dan membesar.
Semakin liar dan bagaikan terbius oleh ekstasi lendir dan aroma asmara yang disajikan oleh memek Intan yang semakin basah, kedua tanganku pun bergerak liar menurunkan kedua tali kutangnya, menyembulkan kedua tetek Intan yang berukuran sedang namun kencang, padat dan sintal.  Kedua teteknya pun nongol dan mengacung tegak.  Kuremas-remas kedua teteknya dengan gemas dan penuh nafsu.  Kupelintir kedua putingnya yang berwarna coklat itu dengan jemariku.  Semakin mengacung tegak kedua putingnya, seolah-olah melotot menantangku.Intan terlihat sangat menikmati permainan liarku ini.  Kepalanya tak henti-hentinya dilemparkan ke kanan dan ke kiri.  Terkadang menengadah, disandarkan ke sofa.  Kedua matanya  merem-melek.  Bibir bawahnya terkadang digigitnya.  Lidahnya terkadang terlihat berputar melingkar, menyapu mulutnya sendiri. Dan terkadang pula, mulutnya setengah dibuka, dan lidahnya terlihat ditekuk ke atas langit-langitnya, seolah-olah menantikanku untuk menghisapnya.
Rintihan dan erangan Intan menunjukkan betapa dia tengah merasakan kenikmatan yang tak terkatakan.  Kedua tangan Intan pun mencengkeram erat kepalaku, meremas-remas dan mengacak-acak rambutku.“Genta Sayang... Nikmat Sayang... Oh...  Sshhh...  Ah...  Enak Sayang... Teruskan Sayang...  Oh.. Ouh... Ouh... Shhh... Genta...“, Intan mendesah tak karuan.Aku tak tahan.  Kuangkat kepalaku.  Kuhisap bibir dan lidah Intan.  Kujilati dan kuhisap kedua tetek dan putingnya. Kuangkat kedua tangannya.  Dengan kejam kujilati kedua ketiaknya yang bersih mulus.  Intan menggelinjang kegelian namun justru menambah kenikmatan birahinya yang tengah menggelora. Peluh pun mengucur deras, membasahi tubuh kami berdua.
Akhirnya aku berdiri di hadapan Intan.  Kuangkat dan kutekuk kaki kananku ke atas sofa, sementara kaki kiriku masih berdiri di lantai agak menekuk menumpu beban.  Kusodorkan batang penisku yang telah mengacung tegak ke mulut Intan.Intan pun dengan cepat menyambar batang kontolku dengan kedua tangannya.  Betapa besarnya ukuran batang kontolku. Genggaman tangan Intan pun aku lihat tak mampu menjangkau seluruh keliling batang kontolku. Dimasukkannya batang kontolku ke dalam mulutnya yang mungil.  Dihisap dengan mulutnya dan dipompa dengan tangannya.  Dijilatinya kontolku. Jilatannya dimulai dari kepala penisku yang merah kecoklatan. Lalu Intan meluncurkan jilatannya yang nikmat itu ke sepanjang batang kontolku, hingga menyentuh kantung baksoku.  Rakus Intan menikmati kontolku. Basah kuyup kontolku oleh air liur asmara Intan.Tak lama Intan menengadah dan menghiba:“Aku ingin menunggangi kontolmu yang besar ini, Genta Sayangku. Aku ingin kontol besar dan hangat ini menggergaji memekku hingga terbelah mencapai kenikmatan yang belum pernah kurasakan.”Intan beranjak berdiri dari sofa.  Kami saling berciuman sejenak, untuk kemudian aku merebahkan diri duduk di sofa, menggantikan posisi Intan.
Intan menuju almari tempat penyimpanan perlengkapan kontrasepsi. Dia mengambil sebungkus kondom, segera membuka bungkusnya dan menyarungkannya ke batang kontolku.Intan lalu bergegas naik kembali ke sofa, dengan posisi badan menghadapku, berlutut mengangkang di atas pangkuanku.  Didekatkannya pintu liang memeknya yang telah basah berlendir itu agar bisa menyusupkan batang kontolku.
“Ah...  Sshhh...  Besarnya kontolmu Sayang...  Uuhhh...  Aku yakin, aku akan mencapai orgasme yang nikmat luar biasa dengan kontolmu yang sebesar ini”, bisiknya perlahan penuh nafsu.Akhirnya, perlahan-lahan kontolku pun amblas tertancap ke dalam liang memek Intan, yang meskipun telah basah berlendir, namun tetap terasa sempit.  Hangat terasa kontolku berada di dalam liang memek Intan.  Kedua tangannya memegang sandaran sofa.  Lalu, perlahan dinaik-turunkannya pantatnya, memompa penisku.Kedua tanganku yang masih leluasa, berusaha mencari kesibukan dengan meremas-remas kedua pantatnya.  Terkadang aku gunakan untuk meremas-remas kedua payudaranya yang semakin memantul-memantul mengikuti gerakan naik-turun pompaan memek Intan.  Wajahku kutengadahkan menatap wajah Intan yang memancarkan nafsu birahi yang semakin menggelora.Saat itu, Intan bagaikan seorang joki yang tengah memacu kuda tunggangannya untuk membawanya menuju ke puncak asmara. Terkadang diturunkannya wajahnya, mendaratkan juluran lidahnya ke dalam rongga mulutku.“Ah... Intan..  Kontolku terasa enak digesek oleh memekmu yang hangat dan sempit Sayang...  Ah...  Kamulah kekasih sejatiku Sayang...  Saras hanya kebetulan saja mengisi hidupku sebagai isteri...  Kamulah yang membuatku bahagia, Intanku Sayang”, aku meracau tak terkendali.“Kontolmu yang besar ini juga enak Genta Sayang...  Aku telah lama mendambakan kontol sebesar dan seperkasa ini.  Punya suamiku loyo.  Kontol Ruri, mantan kekasihku pun tak sebesar kontolmu.  Kontolmu jauh sangat besar, Sayang...  Kamu juga kekasih sejatiku Genta Sayang. Suami dan mantan kekasihku hanyalah pengisi hidupku saat kita belum bertemu.  Kitalah kekasih sejati itu Genta Sayangku.  Genjot terus memekku dengan kontolmu yang besar ini, Gentaku Sayang... Genjot memekku yang sempit dan gatal ini dengan kontol besarmu... Yang keras Sayang, hingga aku orgasme...’, Intan membalas racauanku.Aku semakin bernafsu.  Yang tadinya aku hanya berlaku pasif, diam saja menerima pompaan dari gerakan naik-turunnya pinggul Intan yang liar, kini aku membalas tarian liar Intan dengan menaik turunkan pinggulku, menyesuaikan irama gerakan pinggul Intan.
Semakin lama, gerakan kami semakin keras dan tak terkendali.  Tak kami hiraukan bunyi suara pegas di dalam sofa yang berdecit-decit menerima hantaman gaya dari goyangan kami yang semakin lama semakin dahsyat bagikan gempa 9,8 skala Richter di sore itu.
Intan semakin liar, ditekannya seluruh batang kontolku hingga amblas mencapai ujung liang memeknya, sehingga tak berkutik sama sekali untuk bergerak, kemudian digoyangkannya pinggulnya dalam gerakan memutar,  arahnya acak, terkadang searah jarum jam, terkadang berlawanan arah dengan jarum jam, sehingga mampu menggesekkan bibir vaginanya yang telah menganga oleh ungkitan batang kontolku serta menggesekkan klitorisnya yang telah merah membengkak ke rambut jembut kontolku.Aku tak mau mengalah.  Kuangkat kedua pantat Intan dengan kedua tanganku, sehingga batang kontolku terbebas dari tahanan jepitan memeknya, dan dengan gerakan yang semakin cepat, kupompa batang kontolku, mengobok-obok seluruh isi liang memek Intan.“Ah...  Uh... Makin perkeras  kentotanmu Genta Sayang... Cepat... Makin perkeras...  Jangan berhenti... Aku sudah mau sampai... Berikan seluruh isi kontolmu...  Benamkan dalam-dalam ke dalam liang memekku yang masih  sempit ini.  Tunjukkan bahwa kamu laki-laki sejati berkontol besar... Cepat Sayang... Berikan kontolmu lebih daripada yang pernah kuterima selama ini”, Intan semakin liar dan bernafsu...Aku pun memperkeras dan mempercepat gerakan mempompa keluar-masuk kontolku ke dalam liang memek Intan. Kulihat semakin memerah bibir vagina Intan, dan semakin menonjol serta menegang klitorisnya yang menyerupai kacang itu.Batang kontolku pun semakin dibasahi oleh lendir asmara yang semakin banyak dikeluarkan oleh dinding liang memek Intan.
“Kita orgasme bersama Intan Sayang...  Aku juga akan memuntahkan spermaku segera... Tapi aku akan bersabar menunggumu setelah kamu mencapai orgasme terlebih dulu...  Cepat Intanku Sayang... Aku ingin melihatmu orgasme terlebih dulu...”Kuperkeras dan kupercepat pompaan kontolku. Intan pun menyambutnya dengan semakin mempercepat goyangan pinggulnya yang diserasikan dengan hantaman gerakan batang kontolku.  Hingga akhirnya, Intan meliukkan badannya ke belakang, seperti posisi orang yang mau kayang.  Tangannya mencengkeram erat kepalaku. Takut terjautuh ke belakang.
Lalu, dengan gerakan yang tiba-tiba, Intan kembali meliukkan badannya ke depan. Kedua buah payudaranya disorongkan tepat di mulutku, yang segera kusambut dengan jilatan dan hisapan yang rakus. Wajahnya didekatkan kepadaku. Mulutnya menganga menjulurkan lidah ke dalam rongga mulutku, menghisap lidahku yang dengan rakus menyambutnya dengan hisapan penuh hafsu.
“Ayo kita keluar bareng Sayang...” pintanya.Kupercepat dan kuperkeras lagi tekanan pompaan kontolku.
Dan akhirnya, aku merasakan denyutan keras dari dinding liang memek Intan, meremas-remas batang kontolku yang masih memompanya di dalam liang senggamanya.  Tak tahan.  Aku pun segera memuntahkan spermaku setelahnya.  Kami pun saling berpelukan erat.  Merasakan denyut-denyut hasil pencapaian jalinan asmara penuh birahi di sore itu.  Nafas kami tersengal-sengal.  Intan membungkukkan badannya dan merebahkan kepalanya di dadaku.
Kucium dan kuusap kepalanya dengan penuh mesra.  Lama kami berpelukan, berciuman dan saling memuji kehebatan permainan asmara kami.
Kulirik waktu di jam dinding Puskesmas telah menunjukkan pukul 16.30.
Kulepaskan kontolku dengan perlahan dari liang memek Intan.  Isi sperma sengaja aku tumpahkan dari dalam kondom ke lantai Puskesmas:“Sebagai pertanda bahwa asmara kita pernah terjadi di sini”, kataku sambil tersenyum.
Intan pun membalas senyumku dan mengecupku.Kami pun segera bergegas menuju ke kamar mandi Puskesmas untuk membersihkan diri.
Kondom aku buang dan aku siram ke toilet kamar mandi agar tidak ada yang menaruh curiga esok harinya.
Setelah berpakaian rapi, kami berdua pun pulang.  Terlebih dahulu aku mampir ke rumah kontrakan Intan, mengantarkannya pulang.
Di rumah, ibu mertua dan anak-anaknya telah menunggu kedatangannya.
Intan pun memasang wajah berkespresi penuh penyesalan karena telah pulang terlambat dan berkata kepada Ibu Mertuanya:“Mohon ma’af, Ibu. Saya tadi harus bertugas untuk melayani Posyandu ke desa yang jauh.  Setelah itu, saya harus merujuk pasien ke rumah sakit di kota”.Ibu Mertua Intan justru merasa iba:“Kasihan kamu, In.  Kamu pasti capek sekali.  Nanti malam ibu akan mengurut kamu.  Terima kasih Pak Genta telah mengantarkan menantu saya.”Aku turun dari motor.  Mencium tangan Ibu Mertua Intan.  Sangat bercampur-baur  perasaanku saat itu.  Antara menyesal karena telah mendosai anaknya, dengan bahagia karena telah menemukan kekasih sejatiku.Setelah berbasa-basi sebentar, aku pun berpamitan pulang.  Di sepanjang jalan, aku merasakan angin senja di hari yang terik itu turut mengiringiku, seolah-olah turut mendukung jalinan hubungan asmara gelapku dengan Intan.
Aku paham bahwa apa yang kami lakukan tidak benar, namun aku terkadang berpikir bahwa kami berdua hanyalah korban dari ketidakharmonisan hubungan rumah tangga kami.  Andai kami dipertemukan sejak awal, mungkin kejadian semacam ini tidak pernah terjadi.

1 comment:

  1. T-Mobile - Get the best deals when you shop the
    You polished titanium get the best deals when you shop the best deals when you shop the best deals when you dewalt titanium drill bit set shop titanium cookware the best deals when you shop ford ecosport titanium for the Samsung Gear VR today. titanium pot

    ReplyDelete